FETP Indonesia

Bab 3: Melaksanakan Investigasi Lapangan

Michael E. King, Diana M. Bensyl, Richard A. Goodman, Sonja A. Rasmussen
 
PENDAHULUAN
Ketika ancaman terhadap kesehatan masyarakat terjadi, ahli epidemiologi siap menjadi responder yang menyelidiki masalah tersebut agar mereka dapat mengidentifikasi penyebab dan faktor risikonya, menerapkan tindakan pencegahan dan pengendalian, dan berkomunikasi dengan semua orang yang terlibat. Investigasi lapangan epidemiologi adalah fungsi inti epidemiologi dan mungkin merupakan cara paling jelas untuk mengubah informasi menjadi tindakan guna memastikan kesehatan dan keselamatan masyarakat (lihat Bab 1). Bab ini menjelaskan proses langkah demi langkah yang diperlukan dalam melakukan investigasi epidemiologi lapangan. Ke-10 langkah yang tercakup disini membangun dan menyempurnakan lebih lanjut langkah-langkah yang telah diajarkan secara tradisional dalam kursus Layanan Intelijen Epidemi tahunan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), dalam tiga edisi sebelumnya dari manual ini (buku teks Epidemiologi Lapangan), dan dalam program instruksional CDC lainnya. Ke-10 langkah yang dibahas di sini serupa dengan yang dipaparkan dalam publikasi instruksional epidemiologi lainnya (1-5). Daftar, poin-poin yang dapat diingat dan diterapkan, serta sejumlah contoh telah disediakan untuk memperjelas aspek-aspek kunci dan meningkatkan kegunaan praktis dari diskusi. Bab ini menjelaskan investigasi lapangan dalam konteks respons kesehatan masyarakat terhadap dugaan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit menular akut, meskipun pendekatan ini juga berlaku untuk skenario dan masalah lain.
PERTIMBANGAN LATAR BELAKANG
Suatu KLB didefinisikan sebagai “terjadinya kasus penyakit yang lebih banyak daripada yang diperkirakan di daerah tertentu atau pada sekelompok orang tertentu selama periode waktu tertentu” (1). Ketika jelas teridentifikasi bahwa ada lebih banyak kasus daripada biasanya yang tersebar di wilayah geografis yang lebih luas, istilah epidemi dapat digunakan. Suatu KLB adalah situasi yang biasanya membutuhkan respons kesehatan masyarakat yang cepat. Pemberitahuan dugaan KLB dapat datang dari berbagai sumber, termasuk dokter yang cermat, ilmuwan laboratorium, data surveilans kesehatan masyarakat, atau media.
Setelah keputusan dibuat untuk memulai investigasi, penentuan tujuan investigasi yang jelas sangat penting. Investigasi lapangan terhadap skenario KLB yang biasa terjadi memiliki tujuan standar dan metode yang telah teruji waktu dan dapat diimplementasikan dengan cepat. Misalnya, karena cara penularan terkait KLB melalui makanan dan air sudah diketahui (yaitu, menyebar melalui kontak dengan orang yang terinfeksi, hewan, makanan atau air yang terkontaminasi), ahli epidemiologi telah menyusun Kuesioner Penyusunan Hipotesis Nasional (6) yang merupakan kuesioner standar untuk membantu mengembangkan hipotesis dan mengumpulkan informasi dari orang sakit mengenai demografi dan paparan spesifik. Sebaliknya, pada awal kemunculannya, banyak KLB tidak memiliki penyebab yang jelas atau diketahui sehingga menjadi tantangan ahli epidemiologi untuk menetapkan tujuan yang jelas secara lebih awal walaupun tujuan tersebut masih terlalu luas dan dapat direvisi seiring berkembangnya investigasi serta untuk menghasilkan hipotesis (Kotak 3.1).
 
Kotak 3.1
Bagaimana Definisi Kasus dan Fokus KLB Berubah: Infeksi Virus Zika
 
Zika pertama kali diidentifikasi pada hewan tahun 1947 dan dikaitkan dengan penularan melalui nyamuk. Sejak itu, para peneliti terus belajar dan beradaptasi dengan informasi baru tentang penularan Zika. Sebelum tahun 2007, ketika KLB skala besar pertama terjadi, Zika bukanlah penyakit yang menjadi perhatian khusus mengingat sedikitnya jumlah orang yang terkena. Pada tahun 2008, penularan seksual dicurigai sebagai cara penularan, tetapi dengan sedikitnya jumlah kasus yang ada, upaya untuk memastikan kecurigaan ini tidak mungkin dilakukan. Kasus virus Zika kemudian meningkat secara eksponensial pada tahun 2015. Investigasi awal menunjukkan penularan dari ibu ke anak di kalangan ibu hamil, dan kasus penularan seksual telah dikonfirmasi. Setiap kali peneliti mempelajari informasi baru, definisi kasus harus disesuaikan dan fokus pengumpulan informasi harus diperluas untuk memperhitungkan beberapa cara penularan. Sumber: Diadaptasi dari Referensi 7 .
           
Pada akhirnya, urgensi tertentu untuk dilaksanakannya investigasi lapangan dan tekanan untuk menemukan jawaban dengan cepat akan selalu ada. Misalnya, survei cepat atau desain studi lain yang digunakan dalam investigasi KLB mungkin tidak memiliki tingkat kekuatan statistik atau bukti kausalitas yang sering dimungkinkan dalam studi penelitian yang direncanakan secara prospektif. Demikian juga, penundaan yang disebabkan oleh menunggu terkumpulnya semua sampel laboratorium untuk diuji dapat menunda penentuan patogen atau cara penyebaran dan akibatnya akan memperlambat penerapan tindakan pengendalian. Oleh karena itu, tujuan dari investigasi epidemiologi adalah untuk memberikan hasil yang tepat waktu dan akurat. Dengan adanya pertimbangan ini, koordinasi dengan semua mitra dan penetapan prioritas sejak dini adalah kunci keberhasilan investigasi.
 
INVESTIGASI
Ahli epidemiologi menggunakan pendekatan multilangkah sistematis untuk investigasi lapangan (Kotak 3.2). Meskipun langkah-langkah ini disajikan dalam urutan numerik, langkah-langkah tersebut mungkin dilakukan secara tidak berurutan atau secara bersamaan untuk memenuhi tuntutan investigasi. Misalnya, dalam keadaan tertentu, menerapkan tindakan pengendalian segera setelah pemberitahuan dan konfirmasi KLB mungkin dilakukan dan bahkan dianjurkan. Seringkali, Langkah 2 (Konfirmasi Diagnosis) dan 3 (Menentukan Adanya KLB) dilakukan secara bersamaan. Kedua langkah ini menyoroti perlunya peningkatan kolaborasi (atau kerja tim) di awal investigasi antara petugas kesehatan masyarakat, personel laboratorium, dokter, dan pemangku kepentingan lainnya.
 
Kotak 3.2
Sepuluh Langkah Investigasi Lapangan
 
  1. Mempersiapkan kegiatan lapangan.
  2. Mengonfirmasi diagnosis.
  3. Menentukan adanya KLB.
  4. Mengidentifikasi dan menghitung kasus (yaitu, membuat definisi kasus dan menyusun line listing).
  5. Mentabulasi dan mengorientasikan data terhadap waktu, tempat, dan orang (yaitu, epidemiologi deskriptif).
  6. Mempertimbangkan apakah tindakan pengendalian dapat diterapkan sekarang. (Catatan: langkah-langkah pengendalian harus dipertimbangkan lagi setelah studi yang lebih sistematis selesai.)
  7. Mengembangkan dan menguji hipotesis.
  8. Merencanakan studi yang lebih sistematis.
  9. Menerapkan, jika belum dilakukan, dan mengevaluasi tindakan pengendalian dan pencegahan.
  10. Mengomunikasikan temuan (yaitu, merangkum investigasi untuk kepentingan otoritas yang meminta bantuan dan menyiapkan laporan tertulis).
 
Sumber: Diadaptasi dari Referensi 8 .
 
Langkah 1. Mempersiapkan Kegiatan Lapangan
Langkah pertama yang penting dalam setiap investigasi lapangan adalah menangani aspek operasional yang terkait dengan persiapan kegiatan lapangan (lihat Bab 2). Persiapan ini termasuk memastikan bahwa semua orang yang terlibat menyetujui tujuan investigasi dan bahwa persetujuan resmi yang diperlukan untuk investigasi lapangan telah diterima. Permintaan bantuan secara resmi dari pejabat yang berwenang harus telah diterima. Misalnya, ketika suatu negara bagian meminta bantuan CDC untuk melakukan investigasi, Gubernur atau petugas kesehatan masyarakat terkait seperti ahli epidemiologi negara bagian akan diberi wewenang untuk mengajukan permintaan bantuan. Selain itu, peran dan tanggung jawab mereka yang terlibat dalam investigasi harus dipaparkan dengan jelas. Untuk sebagian besar investigasi, pengujian laboratorium akan memainkan peran penting. Oleh karena itu, diskusi dengan sejawat laboratorium tentang jenis pengujian dan spesimen perlu dilakukan sebelum investigasi lapangan dimulai. Kekhawatiran yang berkaitan dengan keselamatan tim lapangan (misalnya, apakah alat pelindung diri akan dibutuhkan) juga harus dipertimbangkan selama langkah pertama ini. Memastikan bahwa persiapan awal untuk investigasi lapangan ini telah dilakukan secara menyeluruh akan mencegah kesalahpahaman dan masalah lain di kemudian hari.
Langkah 2. Mengonfirmasi Diagnosis
Mengonfirmasi atau memverifikasi diagnosis pasti, sejauh  memungkinkan, bahwa Anda benar-benar mengatasi masalah yang dilaporkan di awal dan telah berhasil mengesampingkan kesalahan diagnosis dan potensi kesalahan laboratorium. Misalnya, dalam KLB penyakit menular, dimasukkannya klaster infeksi palsu, yang sebenarnya merupakan kesalahan diagnosis dan laboratorium, dapat mengakibatkan pseudoepidemik. Istilah pseudoepidemik ini mengacu pada situasi ketika terdapat peningkatan hasil tes positif nyata atau kejadian penyakit terkait dengan suatu penyebab selain peningkatan penyakit yang sebenarnya. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan menerapkan beberapa atau semua kegiatan berikut:
  • Mewawancarai orang-orang yang terdampak;
  • Pemeriksaan klinis orang yang terdampak oleh petugas kesehatan, jika diindikasikan dan memungkinkan;
  • Pengkajian rekam medis dan informasi klinis terkait lainnya (misalnya, radiografi dan hasil pemeriksaan penunjang lainnya); dan
  • Mengonfirmasi hasil pengujian laboratorium; jika ahli epidemiologi tidak memiliki keahlian untuk menilai kecukupan, akurasi, atau arti dari temuan laboratorium, ahli di bidang laboratorium dan personel lain harus dikonsultasikan.
 
Meskipun data laboratorium mungkin merupakan penghubung terbaik, dan satu-satunya, yang mengaitkan penyebab dengan dugaan kasus, tidak semua kasus memerlukan konfirmasi laboratorium sebelum mengambil tindakan lebih lanjut. Langkah terkait guna mengkonfirmasi diagnosis adalah kebutuhan untuk mendapatkan spesimen (misalnya, galur mikrobiologis yang sudah diisolasi) sebelum spesimen tersebut dibuang sehingga spesimen akan tersedia untuk analisis lebih lanjut jika pertanyaan baru muncul kemudian selama investigasi.
 
Langkah 3. Menentukan Adanya KLB
Penentuan adanya suatu KLB terkadang merupakan langkah sulit yang harus diselesaikan sebelum menerjunkan sumber daya program untuk melakukan investigasi secara penuh. Langkah ini juga diperlukan untuk menyingkirkan masalah palsu (misalnya, pseudoepidemi atau peningkatan pelaporan yang disebabkan oleh artefak surveilans). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pseudoepidemi mungkin merupakan hasil klaster nyata dari infeksi palsu (misalnya, kontaminan yang tidak disengaja masuk ke spesimen laboratorium) atau klaster artifak infeksi nyata (misalnya, peningkatan jumlah kasus yang dilaporkan karena perubahan dalam prosedur surveilans yang digunakan oleh departemen kesehatan atau dilaksanakan oleh sistem pelayanan kesehatan) (9). Masalah yang berpotensi terkait dengan pseudoepidemi juga mencakup risiko yang terkait dengan pengobatan yang tidak perlu atau tidak tepat dan prosedur diagnostik yang tidak perlu.
Untuk mengonfirmasi adanya KLB, tim investigasi lapangan harus terlebih dahulu membandingkan jumlah kasus selama periode dugaan KLB dengan jumlah kasus yang diharapkan terjadi selama jangka waktu non-KLB dengan cara:
  • Menetapkan suatu perbandingan kerangka waktu  dalam pengaturan epidemi yang dicurigai dengan mempertimbangkan, misalnya, apakah periode ketika kecurigaan muncul memang merupakan periode (misalnya, jam, hari, minggu, atau bulan) yang langsung diikuti oleh masalah yang ada saat ini atau merupakan periode yang sesuai dengan kondisi pada tahun sebelumnya;
  • Mempertimbangkan potensi masalah atau keterbatasan dalam menentukan perbandingan kerangka waktu (misalnya, kurangnya data, variasi atau kurangnya definisi kasus, pelaporan yang tidak lengkap, dan alasan lain yang mungkin membuat surveilans tidak efisien); dan
  • Menghitung angka kejadian, bila memungkinkan, antara periode masalah saat ini dan periode pembanding.
 
Untuk masalah tertentu, KLB dapat dikonfirmasi dengan cepat dengan menggunakan data surveilans yang ada. Namun, pada KLB lain, jeda waktu yang cukup lama mungkin dilalui sebelum penilaian dapat dibuat tentang keberadaan KLB (Kotak 3.3).
 
Kotak 3.3
Menetapkan Data Dasar untuk Mengonfirmasi KLB
 
Setelah Morbidity and Mortality Weekly Report CDC pada bulan Juni 1981 melaporkan adanya klaster kasus pneumonia Pneumocystis di kalangan laki-laki yang tinggal di Los Angeles, investigasi berikutnya membutuhkan waktu sekitar 6 bulan untuk menegakkan surveilans dan data dasar yang mengonfirmasi fase awal dari apa yang kemudian dikenal sebagai epidemi nasional human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS).
Sumber: Diadaptasi dari Referensi 10, 11 .
 
Langkah 4. Mengidentifikasi dan Menghitung Kasus
Tujuan dari langkah ini adalah untuk mengidentifikasi, atau memastikan, sebanyak mungkin kasus tanpa memasukkan nonkasus. Secara praktik, langkah ini memerlukan pembuatan jaring yang luas melalui penggunaan skema klasifikasi, yaitu definisi kasus (lihat diskusi berikut), yang memaksimalkan sensitivitas (yaitu, mengidentifikasi orang yang memiliki kasus kondisi [positif yang sebenarnya]) dengan benar dan mengoptimalkan spesifisitas (yaitu, tidak mencakup orang yang tidak memiliki kasus kondisi [positif palsu]) (lihat Kotak 3.4).
 
Kotak 3.4
DEFINISI KASUS SEDERHANA DAN RUMIT
 
Contoh Definisi Kasus Sederhana
KLB virus Zika (ZIKV) 2007 di Yap menggunakan definisi kasus berikut:
Definisi kasus: Seorang pasien dengan dugaan penyakit mengalami ruam makula atau papular generalisata, artritis atau artralgia yang terjadi secara akut, atau konjungtivitis nonpurulen selama periode 1 April hingga 31 Juli 2007.
Klasifikasi kasus: Kami menganggap pasien telah terkonfirmasi menderita penyakit virus Zika jika RNA virus Zika terdeteksi dalam serum atau jika semua temuan berikut ini ada: antibodi IgM terhadap virus Zika (terdeteksi dengan ELISA), virus Zika dengan titer PRNT90 minimal 20, dan rasio titer virus Zika PRNT90 terhadap virus dengue dengan titer PRNT90 minimal 4. Pasien akan diklasifikasikan mengalami kasus probable virus Zika jika antibodi IgM terhadap virus Zika terdeteksi oleh ELISA, titer virus Zika PRNT90 setidaknya 20, rasio titer PRNT90 virus Zika terhadap virus dengue Titer PRNT90 kurang dari 4, dan RNA virus Zika tidak terdeteksi oleh RT-PCR atau sampel serum tidak memadai untuk kinerja RT-PCR.
Contoh Definisi Kasus Rumit
Perhatikan bagaimana definisi kasus berubah dari definisi kasus pada tahun 2007 ketika para peneliti telah mempelajari tentang penularan ZIKV secara lebih mendalam.
Kriteria Laboratorium untuk Diagnosis
Infeksi ZIKV Terbaru
  • Kultur ZIKV dari darah, cairan tubuh, atau jaringan; ATAU
  • Deteksi antigen ZIKV atau asam ribonukleat (RNA) virus dalam serum, cairan serebrospinal (CSF), plasenta, tali pusat, jaringan janin, atau spesimen lain (misalnya, cairan ketuban, urine, semen, air liur); ATAU
  • Tes antibodi imunoglobulin M (IgM) ZIKV positif dalam serum atau CSF dengan titer antibodi penetralisir ZIKV positif dan titer antibodi penetralisir negatif terhadap dengue atau flavivirus lain yang endemik di wilayah tempat paparan terjadi.
Infeksi Flavivirus Baru-baru ini, kemungkinan ZIKV
  • Tes antibodi IgM ZIKV positif untuk serum atau CSF dengan titer antibodi penetralisir positif terhadap ZIKV dan virus dengue atau flavivirus endemik lain di wilayah tempat paparan terjadi,
  • Tes antibodi IgM ZIKV positif DAN tes antibodi IgM virus dengue negatif tanpa dilakukan pengujian antibodi penetralisir.
Keterkaitan Epidemiologi
  • Tinggal atau baru-baru ini bepergian ke daerah dengan penularan ZIKV yang diketahui; ATAU
  • Kontak seksual dengan kasus yang dikonfirmasi atau kemungkinan sedang berada dalamperiode risiko penularan infeksi ZIKV atau orang dengan perjalanan baru-baru ini ke daerah dengan penularan ZIKV yang diketahui; ATAU
  • Penerima darah atau produk darah dalam jangka waktu 30 hari sejak timbulnya gejala; ATAU
  • Penerima transplantasi organ atau jaringan dalam jangka waktu 30 hari sejak timbulnya gejala; ATAU
  • Keterkaitan waktu dan tempat dengan kasus yang dikonfirmasi atau probable; ATAU
  • Kemungkinan paparan vektor di daerah dengan kondisi musiman dan ekologi yang sesuai untuk potensi penularan lokal melalui vektor.
 
Lihat Juga Definisi Kasus Subtipe
  • Penyakit virus Zika, bawaan
  • Penyakit virus Zika, bukan bawaan
  • Infeksi virus Zika, bawaan
  • Infeksi virus Zika, nonkongenital
 
Source: Diadaptasi dari Duffy MR, Chen TH, Thane Hancock W, dkk. Zika virus outbreak on Yap Island, Federated States of Micronesia. N Engl J Med 2009;360:2536–2543; and Centers for Disease Control and Prevention. National Notifiable Disease Surveillance System (NNDSS). Zika virus disease and Zika virus infection, 2016 case definition. https://wwwn.cdc.gov/nndss/conditions/zika/case-definition/2016/06/.
 
Definisi kasus adalah pernyataan yang terdiri dari tiga unsur yang jika digabungkan akan menunjukkan bahwa seseorang:
  1. Memiliki kondisi yang terdiri dari (a) sekumpulan gejala (mis., mialgia atau sakit kepala) atau (b) tanda (mis., suhu tinggi, ruam makulopapular, atau ronki) atau (c) temuan laboratorium (mis., leukositosis atau kultur darah positif); dan
  2. Memiliki kondisi yang terjadi selama periode tertentu, biasanya disebut sebagai periode epidemi; dan
  3. Memiliki kondisi yang terjadi setelah orang tersebut berada di satu atau lebih lingkungan tertentu (misalnya, rumah sakit, sekolah, tempat kerja,  komunitas atau lingkungan, atau di antara orang-orang yang berpartisipasi dalam suatu pertemuan, seperti pernikahan atau rapat).
 
Meskipun definisi kasus mungkin luas pada permulaan investigasi lapangan epidemiologi, definisi kasus merupakan skema klasifikasi yang fleksibel yang sering direvisi dan dipersempit saat investigasi berlangsung.
Untuk meminimalkan kemungkinan bias penetapan kasus (yaitu, distorsi sistematis dalam pengukuran akibat cara data dikumpulkan), kasus idealnya dicari dan dihitung melalui pencarian sistematis dari berbagai sumber potensial untuk mengidentifikasi jumlah maksimum, atau sample representatif kasus. Contoh sumber potensial antara lain adalah:
  • Data surveilans dari instansi kesehatan masyarakat;
  • Catatan sistem medis dari rumah sakit, laboratorium, atau tempat perawatan rawat jalan;
  • Catatan pengaturan kelembagaan (misalnya, catatan kehadiran di sekolah dan tempat kerja); dan
  • Survei khusus.
Informasi tentang kasus yang teridentifikasi (misalnya, kode pengidentifikasi pasien, usia, jenis kelamin, ras/etnis, tanggal mulai gejala penyakit atau diagnosis, gejala, tanda, temuan laboratorium, atau data lain yang relevan) harus dicatat secara sistematis dalam spreadsheet atau dengan menggunakan cara lain (misalnya, daftar baris atau database epidemiologi serupa) untuk analisis selanjutnya dan untuk digunakan dalam melakukan studi investigasi lebih lanjut (misalnya, pengujian hipotesis). Semua petugas yang terlibat dalam pengumpulan dan pemeliharaan data harus dilatih untuk menggunakan formulir dan kuesioner (apakah formulir tersebut dalam bentuk kertas atau  elektronik) dan menyimpan formulir untuk melindungi informasi pribadi sambil memfasilitasi analisis data yang cepat.
Bergantung pada sifat, ruang lingkup, dan tingkat KLB, pertimbangan harus diberikan pada kebutuhan penemuan kasus dan surveilans aktif tambahan setelah informasi yang cukup dikumpulkan untuk mendukung upaya pencegahan dan pengendalian. Secara khusus, surveilans yang sedang berjalan atau diperkuat dapat menjadi faktor terpenting dalam upaya selanjutnya untuk mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian guna membatasi dan menghentikan epidemi (lihat Langkah 9).
Langkah 5. Menabulasi dan Mengorientasikan Data menurut Waktu, Tempat, dan Orang
Langkah ini melibatkan pemindahan dan transformasi data dari daftar baris menjadi deskripsi epidemiologi dasar KLB. Deskripsi ini mencirikan KLB menurut waktu, tempat, dan orang (disebut sebagai epidemiologi deskriptif). Melalui pengkajian sistematis data dalam daftar baris, tindakan utama biasanya melibatkan:
  • Menggambar kurva epidemi,
  • Membuat peta titik atau proyeksi spasial khusus lainnya, dan
  • Membandingkan kelompok orang.
 
Selain itu, tindakan kunci ini berkontribusi pada pengembangan hipotesis awal untuk menjelaskan penyebab potensial, sumber, dan cara penyebaran agen penyebab KLB.
Waktu
Untuk menentukan waktu KLB atau epidemi, diperlukan tindakan-tindakan berikut:
  • Menyusun kerangka kronologis dengan mengumpulkan dan mengurutkan informasi tentang kejadian-kejadian penting yang diidentifikasi selama pembuatan daftar baris atau melalui investigasi lain, termasuk[DAB1] 
    • Waktu timbulnya penyakit (gejala, tanda, atau tes laboratorium positif) di kalangan mereka yang terdampak;
    • Periode kemungkinan terjadinya paparan agen penyebab atau faktor risiko;
    • Waktu ketika perawatan diberikan atau tindakan pengendalian dilaksanakan; dan
    • Waktu kejadian yang berpotensi terkait atau paparan yang tidak biasa.
 
Bab 6 mencakup contoh kurva epidemi yang menampilkan jenis informasi yang dapat dianalisis untuk membantu dalam melakukan investigasi lapangan.
  • Mengembangkan kurva epidemi dengan membuat grafik jumlah kasus pada sumbu y dalam kaitannya dengan satuan waktu (misalnya, jam, hari, bulan) pada sumbu x—perhatikan bahwa interval waktu secara konvensional harus kurang dari (yaitu, seperempat hingga sepertiga) masa inkubasi yang diketahui atau dicurigai.
  • Menggunakan konfigurasi kurva epidemi untuk membuat kesimpulan awal tentang cara penyebaran (misalnya, orang ke orang, sumber yang sama atau satu sumber  yang berkelanjutan) agen penyebab yang dicurigai.
  • Jika agen telah diketahui, gunakan pengetahuan tentang masa inkubasi untuk melihat periode kemungkinan paparan di kalangan orang-orang yang terdampak secara retrospektif.
  • Jika agen tidak diketahui, tetapi kejadian umum atau periode paparan mungkin terjadi, pertimbangkan agen penyebab potensial berdasarkan kemungkinan periode inkubasi.
  • Jika diindikasikan, buat kurva epidemi relatif terhadap lokasi tertentu (misalnya, pengaturan tempat kerja, unit rumah sakit, ruang kelas, atau lingkungan sekitar) atau kelompok yang diidentifikasi oleh karakteristik risiko potensial lainnya.
 
Tempat
Gunakan informasi yang dikumpulkan untuk daftar baris dan melalui investigasi lain untuk mengarahkan kasus dalam kaitannya dengan lokasi, termasuk
  • Tempat tinggal,
  • Tempat kerja;
  • Tempat kegiatan rekreasi;
  • Tempat kegiatan (misalnya, kamar atau unit tempat orang dirawat di rumah sakit; kamar yang dikunjungi selama konvensi atau pertemuan; atau tempat duduk atau lokasi kegiatan dalam alat angkut transportasi, seperti pesawat atau kapal pesiar).
Dengan menggunakan informasi tentang tempat, buat peta titik (Gambar 3.1 , 3.2 , 3.3) atau metode visual lainnya untuk menggambarkan lokasi kasus pada saat timbulnya penyakit atau kemungkinan paparan agen atau faktor penyebab, termasuk
  • Di dalam gedung
  • Lokasi perumahan atau lingkungan, atau
  • Wilayah geografis atau geopolitik (misalnya, kota, distrik, negara bagian, atau wilayah).
 
Orang
Gunakan informasi yang dikumpulkan untuk daftar baris guna menggambarkan kasus yang terkait dengan faktor-faktor seperti:
  • Karakteristik demografi (misalnya, usia, jenis kelamin, dan ras/etnis), pekerjaan, dan diagnosis; dan
  • Fitur yang sama-sama dimiliki oleh orang-orang yang terdampak.
 
Jika memungkinkan dan jika diindikasikan, dapatkan data penyebut/denominator (misalnya, total orang yang membantu memasak dalam KLB penyakit yang ditularkan melalui makanan) untuk mengembangkan perkiraan awal tingkat penyakit dalam kaitannya dengan demografi, paparan, dan karakteristik lainnya.
 
Gambar 3.1
Bahasa Inggris Bahasa Indonesia
9th floor of the Metropole Hotel, 21 February 2003 Lantai 9 Hotel Metropole, 21 Februari 2003
Each room is indicated by its number (e.g. 911, index case); white numbers indicate affected rooms Setiap kamar ditandai dengan nomor (misalnya 911, kasus indeks); angka berwarna putih menunjukkan kamar yang terdampak
Index case Kasus indeks
Prof LJL, 63 21 infected Prof IJL, 63 21 terinfeksi
SARS case with further transmission Kasus SARS dengan penularan lebih lanjut
SARS case with no further transmission Kasus SARS tanpa penularan lebih lanjut
Air flow (determined by smoke tests) Aliran udara (ditentukan oleh uji asap)
Peta titik pengunjung yang menginap di lantai sembilan Hotel Metropole, Hong Kong, 21 Februari 2003, yang memiliki gejala yang kemudian diidentifikasi sebagai sindrom pernafasan akut yang berat.
Sumber: Referensi 12. Dicetak ulang dengan izin dari Organisasi Kesehatan Dunia, 5 Februari 2018.
 
Gambar 3.2
 
 
Bahasa Inggris Bahasa Indonesia
School Sekolah
Health Center Fasilitas kesehatan
Church Gereja
Mosque Masjid
Household Rumah Tangga
Case Households Rumah Tangga Kasus
Quarantined case households Rumah Tangga Kasus yang Dikarantina
Public buildings Bangunan publik
Peta skema desa X, Sierra Leone, yang menunjukkan status rumah tangga terinfeksi virus Ebola kumulatif dan status karantina, 1 Agustus– 10 Oktober 2014.
Sumber: Referensi 13 .
 
Gambar 3.3
Bahasa Inggris Bahasa Indonesia
Ebola virus outbreaks by species and size Kejadian luar biasa Ebola berdasarkan spesies dan ukuran
Species Spesies
Number of cases Jumlah Kasus
Greater than 425 reported cases Lebih dari 425 kasus dilaporkan
Miles Mil
Kasus penyakit virus Ebola, Afrika, 1976–2017.
Sumber : Referensi 14 .
 
Langkah 6. Mempertimbangkan Apakah Tindakan Pengendalian Dapat Diimplementasikan Saat ini
Kotak 3.5
Contoh Kesehatan Masyarakat: Mengendalikan KLB Hepatitis A di Tempat Penitipan Anak
Ketika etiologi, cara penyebarandan intervensi diketahui pada saat KLB dikenali, tindakan pengendalian dapat segera dimulai. Misalnya, sebelum vaksin hepatitis A diberikan secara rutin kepada anak-anak mulai usia 1 tahun, satu kasus hepatitis A di tempat penitipan anak menyebabkan pemberian profilaksis immunoglobulin ke seluruh kohort anak-anak dan staf yang terpapar. Tindakan ini dilakukan karena hubungan epidemiologi yang diketahui antara kasus tanpa gejala dan bergejala yang mengarahkan upaya ke arah profilaksis orang yang terpapar sambil meminimalkan kebutuhan akan investigasi ekstensif untuk secara khusus mengidentifikasi orang yang terinfeksi. Respons didasarkan pada kebijakan dan pedoman rutin yang dikembangkan oleh para ahli berdasarkan studi dan pengalaman KLB sebelumnya dan kepastian virtual tentang etiologi masalah dan cara penyebarannya.
Sumber: Diadaptasi dari Referensi 15.
 
Tindakan pengendalian mencakup dua kategori intervensi: (1) intervensi yang dapat diarahkan pada sumber yang paling menular dan agen penyebab penyakit lainnya (misalnya, mengobati orang dan hewan yang terinfeksi atau mengisolasi orang terinfeksi yang menular) dan (2) yang dapat ditujukan pada orang yang rentan terhadap agen tersebut (memberikan profilaksis pasca pajanan, memvaksinasi terlebih dahulu, atau menggunakan teknik penghalang) (lihat Bab 11 dan Kotak 3.5). Dalam konsepnya, tindakan pengendalian diimplementasikan hanya setelah langkah-langkah sebelumnya dan selanjutnya—termasuk mengembangkan dan menguji hipotesis tentang penyebab atau cara penyebaran—telah diimplementasikan. Namun dalam praktiknya, keputusan tentang tindakan pengendalian mungkin diperlukan pada setiap langkah dalam urutan, dan tindakan pengendalian awal dapat ditetapkan berdasarkan informasi awal yang terbatas dan kemudian dimodifikasi sesuai kebutuhan saat investigasi berlangsung. Langkah-langkah pengendalian harus dipertimbangkan lagi setelah studi yang lebih sistematis selesai.
 
Langkah 7. Mengembangkan dan Menguji Hipotesis
Hipotesis tentang agen penyebab, sumber atau reservoir agen penyakit, cara penularan, dan faktor risiko penyakit dapat dikembangkan berdasarkan informasi dari berbagai sumber termasuk:
Pengetahuan ahli dari bidang epidemiologi lapangan, ahli laboratorium laboratorium, dan lainnya;
  • Temuan epidemiologi deskriptif yang dihasilkan dari analisis daftar orang terdampak yang teridentifikasi;
  • Informasi yang diperoleh dari wawancara individu atau kelompok orang terdampak dengan menggunakan kuesioner terstruktur atau pertanyaan terbuka;
  • Cerita, kesan, dan ide dari orang terdampak atau orang lain di daerah yang terdampak; dan
  • Pertimbangan kasus pencilan/outlier (yaitu, kasus yang muncul pada awal atau akhir periode KLB).
Dalam kasus tertentu, temuan epidemiologi deskriptif saja, atau hasil data survei potong lintang atau penelitian lain akan cukup untuk mengembangkan hipotesis. Namun, seringkali, metode epidemiologi analitik—khususnya studi kohort atau studi kasus-kontrol—akan diperlukan untuk mengidentifikasi kemungkinan risiko dan faktor penyebab lainnya dan untuk menguji kekuatan hubungan faktor-faktor tersebut dengan penyakit. Oleh karena itu, Proses pengujian hipotesis mungkin memerlukan beberapa iterasi untuk menghasilkan dan menguji hipotesis, studi serial, dan pengumpulan, analisis, dan pengelolaan data tambahan yang cukup besar. Lihat Bab 7 untuk penjelasan tentang bagaimana studi kohort dan kasus-kontrol dapat digunakan secara efektif dalam KLB penyakit yang disebabkan oleh makanan atau penyakit yang ditularkan melalui air dan jenis investigasi lapangan lainnya (Kotak 3.6).
Biasanya, temuan asosiasi yang signifikan secara statistik (misalnya, p-value yang kecil) saja tidak dapat menjadi bukti yang memadai untuk mendukung kesimpulan tentang validitas hipotesis dan untuk menerapkan intervensi untuk menghentikan KLB Sebaliknya, semua informasi kunci dan temuan investigasi harus dilihat secara keseluruhan dalam kaitannya dengan standar seperti prinsip penyebab Bradford Hill (17 ) (Kotak 3.7).
 
Kotak 3.6
Kesehatan Masyarakat Contoh: Perumusan Hipotesis
 
Dalam KLB yang disebabkan oleh makanan yang terjadi secaara nasional, hasil deskriptif wawancara berdasarkan Kuesioner Penyusunan Hipotesis Nasional digunakan untuk mengidentifikasi pengaturan kelembagaan (misalnya rumah sakit dan sekolah), selai kacang, dan ayam sebagai sumber potensial salmonellosis. Tingginya persentase responden dengan paparan di lokasi kelembagaan (58%) dan paparan selai kacang (71%) dan ayam (86%) memungkinkan tim untuk memfokuskan kegiatan investigasi lebih lanjut di tiga bidang ini. Saat investigasi berlanjut, kasus-kasus dari pengaturan institusional menunjuk ke arah distributor makanan umum. Selai kacang merek tertentu didistribusikan ke fasilitas, dan botol selai kacang yang telah terbuka dari merek tersebut tersedia untuk pengujian Salmonela. Galur KLB diisolasi dari sampel.
Sumber: Diadaptasi dari Referensi 16 .
 
Langkah 8. Merencanakan Satu atau Lebih Studi Sistematis
Ketika sebagian besar investigasi lapangan epidemiologi telah mencapai tahap ini, tujuan studi sistematik atau studi lain yang dilaksanakan mungkin mencakup peningkatan kualitas informasi yang mendasari kesimpulan investigasi tentang masalah tersebut (misalnya, peningkatan kualitas pembilang atau penyebut). Contoh tambahan termasuk menyempurnakan akurasi estimasi orang yang berisiko dan memeriksa masalah terkait lainnya (misalnya, memperluas karakterisasi agen penyebab dan epidemiologinya).
Langkah 9. Menerapkan dan Mengevaluasi Tindakan Pengendalian dan Pencegahan
Tujuan akhir dari investigasi lapangan epidemiologi adalah untuk menerapkan tindakan pengendalian yang rasional secara ilmiah dan disarankan untuk mencegah morbiditas atau mortalitas terkait KLB tambahan. Langkah-langkah pengendalian yang diterapkan dalam KLB akan bervariasi berdasarkan agen penyebab; cara penyebaran; ukuran dan karakteristik populasi yang berisiko; tempat kejadian; dan pertimbangan lain, seperti sumber daya yang tersedia, politik, dan keprihatinan masyarakat. Kategori tindakan pengendalian yang digunakan untuk menghentikan KLB dijelaskan dalam bab ini di Langkah 6 dan selanjutnya dibahas di Bab 11.
Kotak 3.7
Kriteria Bradford Hill
  • Kekuatan asosiasi.
  • Konsistensi dengan studi lain.
  • Temporalitas (paparan mendahului efek [penyakit]).
  • Masuk akal secara biologis.
  • Gradien biologis (dosis-respons).
 
Sumber: Diadaptasi dari Referensi 17 .
 
Mengevaluasi dampak dari tindakan pengendalian sangat penting. Oleh karena itu, upaya evaluasi harus dilaksanakan bersamaan dengan tindakan pengendalian untuk menilai efektivitasnya dalam mengurangi dan akhirnya, menghentikan KLB. Jika belum ada, surveilans aktif harus dimulai untuk memantau kasus baru dan untuk bukti efek dari tindakan pengendalian, serta untuk memandu pengambilan keputusan tentang kebutuhan tambahan (misalnya, investigasi lebih lanjut, studi tambahan, atau modifikasi tindakan pengendalian).
Terlepas dari intervensi yang dilakukan, implikasi etis dari setiap tindakan harus dipertimbangkan. Karena investigasi KLB biasanya melibatkan pengumpulan informasi pribadi yang dapat diidentifikasi secara pribadi dari individu, dan seringkali dari keluarga, rekan kerja, atau kenalan lainnya, ahli epidemiologi harus memahami peraturandaerah, negara bagian, dan federal yang berlaku mengenai perlindungan privasi.
Langkah 10. Mengomunikasikan Temuan
Ahli epidemiologi lapangan harus menjadi komunikator yang rajin dan efektif selama dan setelah investigasi KLBdilakukan. Informasi yang mereka berikan membantu masyarakat dan pemangku kepentingan menerima informasi akurat selama KLB, menginformasikan keputusan tentang tindakan untuk menghentikan KLB, dan mendokumentasikan investigasi.
Langkah ini memerlukan tindakan berikut:
  1. Menetapkan rencana komunikasi pada awal investigasi (lihat juga Bab 2).
  • Mengidentifikasi atau menetapkan juru bicara atau penanggung jawab yang konsisten yang akan berperan sebagai komunikator utama untuk tim investigasi. Penunjukan ini akan mengoptimalkan efisiensi tim dengan memusatkan peran komunikasi pada satu orang yang dapat diakses oleh media dan lainnya. Tindakan ini juga akan meminimalkan potensi kebingungan atau kesalahpahaman dengan memastikan konsistensi dalam penyampaian pesan selama investigasi.
  • Memberikan pengarahan lisan dan komunikasi tertulis, sesuai kebutuhan.
    • Laporan tertulis dapat disesuaikan untuk berbagai tujuan, termasuk menyampaikan rekomendasi secara formal, memenuhi persyaratan kelembagaan untuk dokumentasi, menyediakan catatan untuk referensi di masa mendatang, dan memfasilitasi penyebaran cepat temuan investigasi kepada otoritas yang meminta bantuan, pemangku kepentingan, sejawat di bidang ilmiah, dan lain-lain.
    • Sebelum meninggalkan lapangan, tim investigasi harus memberikan laporan awal tertulis dan lisan yang mendokumentasikan semua kegiatan, mengomunikasikan temuan, dan menyampaikan rekomendasi kepada otoritas peminta bantuan dan pemangku kepentingan setempat. Laporan akhir yang lebih rinci mungkin diberikan kemudian, terutama jika analisis dan studi tambahan direncanakan.
    • Laporan singkat yang diterbitkan dengan cepat dalam buletin kesehatan masyarakat (misalnya, Morbidity and Mortality Weekly Report) dapat membantu mengingatkan sejawat lain tentang masalah tersebut.
 
KESIMPULAN
Bab ini memaparkan pendekatan 10 langkah untuk melakukan investigasi lapangan epidemiologi. Meskipun semua langkah tersebut tidak boleh ada yang terlewat, langkah-langkah tersebut dapat dilakukan secara bersamaan atau tidak berurutan, bergantung pada keadaan investigasi. Meskipun temuan epidemiologi deskriptif cukup untuk mendukung inisiasi tindakan kesehatan masyarakat dalam investigasi tertentu, investigasi yang lebih luas, termasuk studi analitik, seringkali diperlukan untuk memberikan dasar rasional ilmiah untuk intervensi. Terlepas dari kerumitannya, daftar langkah-langkah yang mengatur investigasi epidemiologi lapangan membantu memastikan fokus dan ketelitian selama respons investigasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis berterima kasih kepada mendiang Michael B. Gregg yang menjabat sebagai Pemimpin Redaksi untuk tiga edisi pertama Field Epidemiology; Beliau juga menulis versi awal bab ini. Selama bertahun-tahun, Dr. Gregg mengajarkan topik ini dalam Kursus Musim Panas Badan Intelijen Epidemi.
 
REFERENSI
  1. CDC. Self-study course SS 1978. Principles of epidemiology in public health practice, third edition. An introduction to applied epidemiology and biostatistics. Lesson six: investigating an outbreak. https://www.cdc.gov/ophss/csels/dsepd/ss1978/lesson6/section2.html.
  2. Gertsmann BB. Outbreak investigation. In: Gertsman BB, ed. Epidemiology kept simple: an introduction to traditional and modern epidemiology. 2nd ed. Hoboken, NJ: Wiley-Liss, Inc.; 2003:351–64.
  3. Brownson RC. Outbreak and cluster investigations. In: Brownson RC, Petitti DB, eds. Applied epidemiology: theory to practice. New York: Oxford University Press; 1998:71–104.
  4. Reingold AL. Outbreak investigations—a perspective. Emerg Infect Dis. 1998;4:21–7.
  5. CDC. Multistate and nationwide foodborne outbreak investigations: a step-by-step guide. https://www.cdc.gov/foodsafety/outbreaks/investigating-outbreaks/investigations/Indonesia.html.
  6. CDC. Foodborne disease outbreak investigation and surveillance tools: national hypothesis generating questionnaire. https://www.cdc.gov/foodsafety/outbreaks/surveillance-reporting/investigation-toolkit.html
  7. Imperato PJ. The convergence of a virus, mosquitoes, and human travel in globalizing the Zika epidemic. J Community Health. 2016;41:674–9.
  8. Gregg MB. Conducting a field investigation. In: Gregg MB, ed. Field epidemiology. 3rd ed. New York: Oxford University Press; 2008:81–96.
  9. Weinstein RA, Stamm WE. Pseudoepidemics in hospital. Lancet. 1977;310:862–4.
  10. CDC. Pneumocystis pneumonia—Los Angeles. MMWR. 1981;30:250–2.
  11. CDC. Task Force on Kaposi’s Sarcoma and Opportunistic Infections. Epidemiologic aspects of the current outbreak of Kaposi’s sarcoma and opportunistic infections. N Engl J Med. 1982;306:248–52.
  12. World Health Organization. SARS: how a global epidemic was stopped. WHO Regional Officer for the Western Pacific Region. Manila, Philippines: World Health Organization; 2006. http://www.yncdc.cn/newsview.aspx?id=19185external icon
  13. Gleason B, Foster S, Wilt G, dkk. Geospatial analysis of household spread of Ebola virus in a quarantined village—Sierra Leone, 2014. Epidemiol Infect. 2017;145:2921–9.
  14. CDC. Ebola virus disease distribution map. https://www.cdc.gov/vhf/ebola/outbreaks/history/distribution-map.html
  15. Goodman RA, Buehler JW, Koplan JP. The epidemiologic field investigation: science and judgment in public health practice. Am J Epidemiol. 1990;132:9–16.
  16. Cavallaro E, Date K, Medus C, dkk. Salmonela Typhimurium infections associated with peanut products. N Engl J Med. 2011;365:601–10.
  17. Hill AB. The environment and disease: association or causation? Proc R Soc Med. 1965;58:295–300.

 [DAB1]As in the original. Sentence is not finished

Alamat

Gedung C Lantai 3
Ditjen P2P Kementerian Kesehatan RI
Jl. Percetakan Negara No.29, RT.23/RW.7, Johar Baru, Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10560

08111690148
2018 © FETP Indonesia. Hak Cipta dilindungi Undang - Undang.