FETP Indonesia

Bagian I: Investigasi Lapangan

Bab 1: Mendefinisikan Epidemiologi Lapangan

Richard A. Goodman, James W. Buehler, dan Joshua A. Mott
 
PENDAHULUAN
Meskipun para ahli epidemiologi bekerja di lapangan dengan pengaturan yang berbeda dan konteks yang berbeda, istilah epidemiologi lapangan seperti yang digunakan dalam manual ini menggambarkan investigasi yang dimulai sebagai respons terhadap masalah kesehatan masyarakat yang mendesak. Tujuan utama epidemiologi lapangan adalah untuk memandu, secepat mungkin, proses pemilihan dan penerapan intervensi untuk mengurangi atau mencegah penyakit atau kematian ketika masalah tersebut muncul. Meskipun ada perubahan terus-menerus dalam konteks tempat ahli epidemiologi beroperasi, serta jenis dan jumlah informasi yang dimiliki ahli epidemiologi, sebagian besar prinsip-prinsip inti epidemiologi lapangan tetap konstan.
Konstelasi masalah yang dihadapi oleh ahli epidemiologi yang melakukan investigasi terhadap masalah kesehatan masyarakat yang mendesak telah membentuk definisi epidemiologi lapangan. Sebagai contoh, pertimbangkan skenario berikut: Pada pukul 08:30 pada hari Senin, 2 Agustus 1976, Dr. Robert B. Craven, petugas Layanan Investigasi Epidemi (Epidemic Intelligence Service, EIS) yang ditugaskan di Viral Diseases Division CDC, menerima telepon dari seorang perawat di rumah sakit veteran di Philadelphia, Pennsylvania. Perawat tersebut melaporkan bahwa telah terjadi dua kasus penyakit pernapasan berat (termasuk satu kematian) pada kelompok veteran yang menghadiri Konvensi Veteran Amerika saat itu di Philadelphia. Percakapan selanjutnya dengan petugas kesehatan masyarakat setempat dan negara bagian mengungkapkan bahwa 18 orang yang menghadiri konvensi yang dilaksanakan pada tanggal 21-24 Juli tersebut telah meninggal selama periode 26 Juli-2 Agustus akibat, terutama, pneumonia. Pada malam tanggal 2 Agustus, 71 kasus tambahan telah diidentifikasi di antara para veteran. Dengan berdasarkan informasi ini, investigasi epidemiologi besar-besaran segera dimulai dengan melibatkan dinas kesehatan masyarakat setempat, negara bagian, dan federal. Kejadian Luar Biasa (KLB) ini kemudian dikenal sebagai KLB penyakit Legionellosis, dan investigasi terhadap masalah ini mengarah langsung pada penemuan bakteri patogen, Legionella pneumophila (1,2), yang kemudian membuka jalan menuju penelitian lebih lanjut tentang sifat dan cara penularan organisme ini, serta epidemiologi dan riwayat alami infeksi Legionella yang mengarah pada rekomendasi yang lebih tepat untuk pencegahan dan pengobatan penyakit tersebut.
KLB penyakit Legionellosis dan respon kesehatan masyarakat yang dipicunya menggambarkan raison d'être (alasan utama yang paling penting) untuk epidemiologi lapangan. Dengan menggunakan epidemi Legionellosis sebagai contoh, kita dapat mendefinisikan epidemiologi lapangan sebagai penerapan ilmu epidemiologi dalam kondisi umum ketika:
 
  • Waktu terjadinya masalah tidak terduga.
  • Ada tuntutan respon yang tepat waktu.
  • Ahli epidemiologi kesehatan masyarakat harus melakukan perjalanan dan bekerja di lapangan untuk memecahkan masalah.
  • Luasnya investigasi mungkin akan terbatas akibat adanya keharusan dilakukannya intervensi tepat waktu dan kendala situasional lainnya terkait desain atau metode penelitian.
 
Meskipun investigasi lapangan untuk masalah akut memiliki banyak kesamaan karakteristik dengan studi epidemiologi yang direncanakan secara prospektif, investigasi lapangan memiliki perbedaan setidaknya dalam tiga aspek penting:
  • Karena investigasi lapangan sering dimulai tanpa hipotesis khusus tentang penyebab atau sumber penyakit, investigasi tersebut memerlukan penerapan penelitian deskriptif untuk menghasilkan hipotesis sebelum studi analitik dapat dirancang dan dilaksanakan untuk menguji hipotesis tersebut.
  • Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ketika masalah akut terjadi, terdapat kebutuhan mendesak untuk melindungi kesehatan masyarakat dan mengatasi kekhawatiran yang terjadi di masyarakat. Tanggung jawab ini mendorong dilakukannya pelaksanaan investigasi lapangan epidemiologi yang melampaui kegiatan pengumpulan dan analisis data saja dan masuk ke dalam ranah kebijakan dan tindakan kesehatan masyarakat.
  • Epidemiologi lapangan mengharuskan ahli epidemiologi untuk mempertimbangkan kapan temuan dianggap sudah memadai untuk dijadikan dasar dalam mengambil tindakan dan bukan terus menerus menambah pertanyaan tambahan yang mungkin bisa dijawab melalui pengumpulan atau analisis data tambahan atau, sebagai alternatif lain, untuk mengambil tindakan awal yang mungkin dimodifikasi sebagai informasi tambahan yang diperoleh melalui proses investigasi lebih lanjut.
 
Meskipun waktu terjadinya masalah kesehatan masyarakat akut yang memerlukan investigasi lapangan biasanya tidak terduga, keadaan darurat sering kali membuka kedok ancaman laten terhadap kesehatan yang sebelumnya tidak dikenali atau telah "menunggu untuk terjadi." Misalnya, penyakit sporadis atau epidemi mungkin tak terhindarkan jika restoran gagal mematuhi pedoman pengelolaan makanan, jika rumah sakit gagal mensterilkan instrumen dengan benar, jika pemilik tempat kerja gagal mempertahankan standar keselamatan tempat kerja, atau jika anggota suatu jejaring sosial terlibat dalam perilaku seksual yang tidak aman. Akibatnya, investigasi lapangan dapat mendorong intervensi langsung dan rekomendasi jangka panjang atau mengidentifikasi masalah yang memerlukan studi lebih lanjut setelah masalah awal ditangani.
Pengalaman selama 2014–2016 dalam penanganan KLB penyakit virus Ebola (Ebola Virus Disease, EVD) di Afrika Barat menggarisbawahi bagaimana jaringan profesional yang terlatih di bidang dasar-dasar epidemiologi lapangan dapat memainkan peran kunci dalam mengurangi dampak kesehatan dan ekonomi dari ancaman penyakit yang muncul seperti EVD. Ketika KLB ini tidak ditangani dan dibiarkan di banyak lokasi di Afrika Barat, KLB EVD mengakibatkan lebih dari 28.000 kasus dan 11.000 kematian (3,4). Namun, pada bulan Juli 2014, ketika kasus EVD masuk ke Nigeria, ahli epidemiologi, dalam kemitraan erat dengan Kementerian Kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan anggota masyarakat lainnya, melakukan investigasi lapangan secara cepat untuk mencegah penularan lebih lanjut (5). Mengingat jumlah populasi Nigeria, respon epidemiologi yang tepat waktu mungkin dapat membantu mencegah bencana yang jauh lebih besar.
Konsep dan metode yang digunakan dalam investigasi lapangan berasal dari ilmu kedokteran klinis, epidemiologi, laboratorium dan ilmu perilaku, teori keputusan, berbagai disiplin ilmu lainnya, keterampilan dalam komunikasi, dan akal sehat. Dalam manual ini, pedoman dan pendekatan untuk melakukan investigasi lapangan epidemiologi mencerminkan urgensi untuk menemukan faktor penyebab, penggunaan metode multifaset yang berkembang, dan kebutuhan untuk membuat rekomendasi praktis yang tepat waktu.
 
DETERMINAN INVESTIGASI LAPANGAN
Departemen kesehatan mengetahui keberadaan kemungkinan KLB penyakit atau masalah kesehatan masyarakat akut lainnya dengan cara yang berbeda. Suatu situasi tertentu mungkin menjadi perhatian karena pengamatan dokter yang cerdik dalam mengenali pola penyakit yang tidak biasa pada pasien mereka dan departemen kesehatan yang waspada. Pengenalan kemungkinan KLB ini juga mungkin diawali oleh adanya peningkatan yang teramati pada sistem surveilans yang dijalankan untuk memantau penyakit atau tren bahaya mendeteksi peningkatan, diagnosis satu kasus penyakit langka yang menandakan masalah yang lebih luas atau ancaman potensial, atau kekhawatiran masyarakat yang kemudian memicu mereka untuk menghubungi pihak berwenang.
Setelah adanya tanda-tanda peringatan tersebut, langkah pertama yang dilakukan adalah memutuskan apakah investigasi lapangan perlu dilakukan atau tidak. Penilaian awal mungkin dapat menghilangkan kekhawatiran yang muncul atau menegaskan bahwa investigasi lebih lanjut diperlukan. Setelah investigasi dinyatakan dimulai, keputusan tentang seberapa jauh investigasi harus dilanjutkan harus dibuat secara berurutan sesuai tahapannya. Keputusan-keputusan tersebut dibutuhkan guna memastikan pemanfaatan sumber daya kesehatan masyarakat secara efektif, termasuk kapasitas untuk melakukan investigasi lapangan dan mengoptimalkan peluang untuk pencegahan penyakit.
Selain kebutuhan untuk mengembangkan dan menerapkan langkah-langkah pengendalian guna mengakhiri ancaman terhadap kesehatan masyarakat, seperti pada KLB penyakit Legionellosis dan EVD, faktor penentu lain yang membentuk investigasi lapangan mencakup (1) pertimbangan epidemiologi, program, dan sumber daya; (2) pertimbangan publik dan politik; (3) kesempatan penelitian dan pembelajaran; (4) kewajiban hukum; dan (5) kebutuhan pelatihan.
 
Pertimbangan Epidemiologi, Program, dan Sumber Daya
Program pengendalian penyakit tertentu di tingkat nasional, negara bagian, dan daerah memiliki persyaratan khusus dan ekstensif untuk investigasi epidemiologi. Contohnya, sebagai bagian dari upaya eliminasi campak di Amerika Serikat, KLB campak didefinisikan sebagai rantai penularan yang mencakup tiga atau lebih kasus yang terkait dalam ruang dan waktu (6). Oleh karena itu, setiap kasus campak mungkin diselidiki untuk mengidentifikasi dan memvaksinasi orang yang rentan dan mengevaluasi strategi pengendalian lainnya, seperti dikeluarkannya anak-anak dari sekolah jika tidak dapat memberikan bukti bahwa mereka telah divaksinasi. Rekomendasi ini mencerminkan epidemiologi campak di Amerika Serikat yang sebagian besar kasusnya diakibatkan oleh masuknya campak terkait perjalanan ke negara tersebut dan program vaksinasi telah secara dramatis mengurangi kejadian campak meskipun kantong kerentanan terhadap penularan tetap ada.
Situasi lain yang memungkinkan dimulainya investigasi setelah diagnosis kasus individu ditegakkan adalah munculnya infeksi yang sangat patogenik, seperti influenza A(H5N1) dan A(H7N9) pada sindrom pernapasan Asia dan Timur Tengah. Mengingat pengalaman pandemi influenza dan sindrom pernafasan akut yang berat (Severe Acute Respiratory Syndrome, SARS) di masa lalu, deteksi kejadian semacam itu telah mendorong sejumlah investigasi lapangan. Ditegakkannya diagnosis penyakit individu yang mungkin terkait dengan bioterorisme juga harus memicu dilakukannya investigasi, setidaknya sampai kekhawatiran bahwa paparan tersebut merupakan akibat tindakan yang disengaja dapat ditiadakan. Sebagai contoh, diagnosis kasus antraks inhalasi yang dialami seorang editor foto perusahaan media nasional pada tahun 2001 yang pekerjaannya yang tidak terkait dengan paparan antraks secara alami ternyata menjadi awal terdeteksinya 22 kasus antraks terkait terorisme dengan lima kematian terkait yang kemudian diselidiki secara mendalam (7) serta memicu peningkatan investasi besar-besaran dalam kesiapsiagaan darurat kesehatan masyarakat di Amerika Serikat. Serangan antraks dan kekhawatiran terkait bioterorisme lainnya menyebabkan penurunan ambang kecurigaan yang diperlukan untuk memicu investigasi lapangan penuh (8,9).
Teknologi yang berbeda-beda di bidang klinis, laboratorium, dan surveilans berpotensi untuk meningkatkan identifikasi situasi yang memerlukan investigasi, termasuk deteksi kasus penyakit individual yang mungkin menandakan adanya ancaman yang lebih besar terhadap kesehatan masyarakat, deteksi dini KLB penyakit, atau deteksi bahaya lingkungan yang dapat mengakibatkan penyakit yang meluas. Sebaliknya, potensi manfaat dari teknologi-teknologi tersebut mungkin diimbangi dengan meningkatkan kemungkinan untuk mendeteksi situasi yang tidak mencerminkan adanya ancaman kesehatan masyarakat namun diperlukan waktu dan sumber daya untuk sampai pada kesimpulan tersebut. Pada tingkat individu, munculnya platform deteksi multipatogen juga memungkinkan deteksi simultan berbagai virus dan bakteri dalam satu spesimen klinis. Meskipun teknologi ini dapat memberikan manfaat kesehatan klinis yang penting, teknologi ini dapat memunculkan tantangan dalam upaya untuk membedakan patogen yang berpotensi menjadi KLB penyakit dari organisme yang hanya bersifat komensal (10). Pada tingkat KLB, adanya sistem pengawasan kesehatan masyarakat yang sangat otomatis dan dapat menggabungkan algoritma statistik untuk mendeteksi tren yang tidak biasa akan mampu memberikan peringatan dini munculnya KLB serta deviasi statistik yang tidak menunjukkan ancaman besar (11). Pada tingkat pemantauan lingkungan, perdebatan seputar peningkatan yang diusulkan untuk kapasitas pemantauan patogen sistem BioWatch AS dalam mendeteksi bahaya biologis di udara telah memasukkan pertimbangan potensi peringatan yang lebih sering untuk deteksi mikroba alami yang tidak mencerminkan adanya ancaman bermakna terhadap kesehatan masyarakat (12).
Program eliminasi dan pemberantasan penyakit global, kesiapsiagaan dan koordinasi internasional untuk ancaman yang muncul, dan kemajuan dalam surveilans dan teknologi laboratorium telah membantu memperkuat kesehatan masyarakat. Namun, perkembangan ini juga memberikan tantangan baru pada pengelola program epidemiologi untuk memprioritaskan sumber daya. Setiap pengeluaran sumber daya publik harus dilakukan secara bijaksana. Investigasi lapangan dapat menghabiskan banyak waktu dan sumber daya lainnya serta dapat memunculkan biaya peluang akibat dikuranginya kegiatan kesehatan masyarakat lainnya. Selain itu, investigasi lapangan menghabiskan waktu dan tenaga orang-orang yang diinvestigasi dan orang-orang yang kolaborasinya seringkali penting. Dengan demikian, kapasitas untuk melakukan kerja lapangan dapat dibatasi tidak hanya oleh sumber daya atau kapasitas masing-masing dinas kesehatan masyarakat, tetapi juga oleh tuntutan kompetisi program-program lain yang ada di lembaga atau oleh tuntutan situasional lainnya. Kendala sumber daya juga mungkin akan menentukan sejauh mana investigasi akan dilakukan. Di Amerika Serikat, dinas kesehatan negara bagian mungkin membantu pemerintah daerah bila diperlukan, dan dinas kesehatan negara bagian atau daerah mungkin meminta bantuan dari CDC ketika kapasitas mereka kurang memadai untuk mengatasi tuntutan suatu kejadian. Secara global, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) dan jaringan kantor regionalnya berfungsi sebagai sumber daya bagi pemerintah nasional.
 
Pertimbangan Publik dan Politik
Publik, pemimpin politik, dan media dapat mempertanyakan semua tahap investigasi lapangan yang dilakukan, termasuk mempertanyakan tahap penilaian awal yang dilakukan untuk menentukan apakah investigasi lapangan memang perlu dilakukan. Pertanyaan mendalam semacam ini dapat mempengaruhi urgensi dari suatu situasi atau kebutuhan untuk investigasi. Kepentingan yang dipahami seseorang terkait masalah dan kesimpulan terhadap pengetahuan awal terkait suatu situasi mungkin akan berbeda atau sama dengan yang dipahami oleh ahli epidemiologi yang bertanggung jawab untuk melakukan investigasi lapangan atau petugas kesehatan masyarakat yang lebih senior yang bertanggung jawab untuk menentukan kapan investigasi lapangan harus dimulai.
Dalam kasus tertentu, kewaspadaan warga dapat mengarah pada dikenalinya masalah kesehatan masyarakat besar, seperti dalam kasus penyakit Lyme di Lyme, Connecticut, pada tahun 1976 (13). Namun, dalam kasus lain, kekhawatiran publik dan tekanan yang muncul dapat mengarah pada investigasi yang terlalu dini atau tidak membuahkan hasil yang signifikan secara ilmiah tetapi sangat penting dalam hubungan masyarakat. Klaster kecil suatu penyakit (misalnya, leukemia atau kondisi negatif yang dialami janin) adalah contoh masalah yang sering menarik perhatian besar publik. Persepsi adanya klaster penyakit tersebut bisa menjadi bukti  suatu kejadian yang tidak terkait setelah hasil pemeriksaan formal diperoleh. Klaster kecil tersebut mungkin hanya terjadi secara kebetulan dan investigasi lapangan seringkali memperlihatkan hasil tidak konklusif dan hanya menghasilkan informasi baru tentang hubungan etiologi dengan dugaan pajanan (14). Namun, karena sejumlah anggota masyarakat mungkin merasakan adanya ancaman kesehatan, dan klaster tertentu memang mencerminkan keberadaan risiko tertentu yang dapat dicegah, dinas kesehatan masyarakat telah mengembangkan prosedur standar untuk menyelidiki klaster-klaster semacam ini meskipun kecil kemungkinan penyebab yang mungkin diperbaiki dapat diidentifikasi melalui investigasi tersebut (15).
Penentuan sampai kapan investigasi dilanjutkan bisa memunculkan kontroversi publik. Keputusan menunda intervensi sambil menunggu hasil investigasi epidemiologi selesai dapat dianggap sebagai eksperimen komunitas atau penundaan birokrasi. Misalnya, dalam KLB penyakit usus Escherichia coli di Taman Nasional Crater Lake, Oregon, pada tahun 1975, penundaan tindakan pengendalian selama 1 hari guna mendapatkan data epidemiologi yang lebih definitif malah mengakibatkan diadakannya sidang Kongres dan munculnya tuduhan menutup-nutupi (16).
 
Peluang Penelitian dan Pembelajaran
Karena hampir semua KLB merupakan “eksperimen alami”, KLB menghadirkan peluang untuk menjawab pertanyaan penting baik bagi ilmuwan ilmu dasar (basic scientists) maupun bagi mereka yang berkecimpung dalam ilmu terapan kesehatan masyarakat. Bahkan, ketika kebijakan yang jelas untuk mengendalikan masalah tertentu tersedia, investigasi dapat memberikan peluang untuk mengidentifikasi agen dan faktor risiko baru untuk suatu infeksi atau penyakit, menentukan spektrum klinis penyakit, mengukur efek tindakan pengendalian baru atau intervensi klinis, menilai kegunaan penanda mikrobiologis atau biologis lainnya, atau mengevaluasi kegunaan tes diagnostik baru.
Dikenalinya suatu penyakit yang baru muncul atau muncul kembali sering mendorong dilakukannya investigasi secara agresif karena potensi penyakit yang luas dan mengancam jiwa. Penyakit tertentu pada awalnya diidentifikasi hanya pada saat epidemi, meskipun investigasi dan penelitian selanjutnya memungkinkan diagnosis retrospektif dari kejadian sebelumnya, serta karakterisasi spektrum manifestasi klinis dan epidemiologi yang lebih lengkap. Misalnya, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, setelah L. pneumofilia ditemukan dan uji serologis untuk penyakit ini dikembangkan, penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa selain manifestasi penyakit yang parah dalam KLB Philadelphia 1976, infeksi Legionella umumnya menyebabkan penyakit ringan atau infeksi tanpa gejala. Seringkali, ketika penyakit baru terdeteksi, penyakit tersebut teridentifikasi pada tahap yang berat atau khas, lalu diikuti dengan identifikasi spektrum penyakit yang lebih luas. Pengenalan awal dari masalah tertentu lainnya, seperti sindrom syok toksik, influenza A(H1N1)pdm09, AIDS, sindrom paru Hantavirus, penyakit virus West Nile, dan SARS, diikuti oleh investigasi agresif yang memungkinkan pemahaman analog tentang riwayat alami dan spektrum penyakit infeksi tersebut. Hal yang harus diingat adalah bahwa KLB dan investigasi yang mengidentifikasi patogen yang sebelumnya tidak dikenali dan yang menghasilkan banyak wawasan ilmiah baru tidak sering terjadi. Yang seringkali terjadi adalah investigasi lapangan KLB  mampu mengidentifikasi patogen dan cara penularannya. Namun, untuk penyakit dan cara paparan atau penularan yang sudah dikenal, investigasi tetap diperlukan untuk menghentikan KLB dan memahami konteks yang ada saat KLB terjadi. Misalnya, perubahan prevalensi penyakit penyerta (seperti obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular) pada populasi AS dan karakteristik demografis populasi (seperti , determinan budaya dan usia) memiliki potensi untuk mengubah kerentanan inang (host) dan konsekuensi epidemiologi dari paparan patogen dan bahaya lainnya.
KLB tertentu yang awalnya tampak rutin terjadi dapat mengarah pada penemuan epidemiologi penting. Misalnya, pada tahun 1983, para peneliti melakukan investigasi terhadap satu klaster diare yang merupakan penyakit yang sangat umum terjadi hingga jangka waktu yang luar biasa (17). Sebagai hasilnya, para peneliti bisa melacak rantai penularan galur unik Salmonella yang resistan terhadap antibiotik dari orang yang terdampak ke hamburger yang mereka makan, ke pemasok daging, dan, akhirnya, ke sekelompok hewan tertentu sebagai sumber. Investigasi ini memainkan peran kunci dalam memperjelas hubungan antara penggunaan antibiotik di industri ternak dengan infeksi dari kuman yang resistan terhadap antibiotik pada manusia.
 
Kewajiban Hukum
Investigasi lapangan seringkali memerlukan akses ke catatan medis pasien, informasi tentang perilaku individu, analisis perusahaan swasta yang diduga bertanggung jawab atas paparan penyebab penyakit, reviu informasi kepemilikan, atau penilaian dugaan kesalahan yang dilaporkan penyedia layanan kesehatan atau produsen produk kesehatan. Akses tersebut mungkin diperlukan untuk menyelesaikan investigasi lapangan yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan, tetapi juga penuh dengan nuansa etika dan hukum yang cukup kuat (lihat Bab 13).
Temuan dari beberapa investigasi mungkin akan digunakan sebagai kesaksian dalam persidangan perdata atau pidana (18). Dalam situasi ini, investigasi mungkin dilakukan lebih mendalam dari yang seharusnya. Misalnya, investigasi dalam situasi ketika ada dugaan tindak kriminal (19) mungkin mencakup persyaratan hukum tambahan untuk menetapkan lacak balak (chain of custody), yang diperlukan untuk penuntutan pidana. Serangan antraks selama musim gugur 2001 dan kekhawatiran terkait bioterorisme telah mendorong langkah-langkah hukum lanjutan yang dirancang dengan hati-hati untuk memfasilitasi investigasi epidemiologi dan kriminal secara bersama-sama. Contoh tindakan tersebut adalah protokol yang dikembangkan oleh Department of Health and Mental Hygiene New York, New York City Police Department, dan Federal Bureau of Investigation untuk memandu wawancara pasien selama investigasi bersama oleh profesional kesehatan masyarakat dan penegak hukum yang mewakili lembaga tersebut (20). Kolaborasi serupa juga terjadi di tingkat federal (21).
 
Kebutuhan Pelatihan
Dengan analogi kepaniteraan di fakultas kedokteran dan residensi pascasarjana, investigasi KLB memberikan kesempatan pelatihan epidemiologi dasar. Sama seperti pelatihan klinis yang sering dilakukan pada saat yang sama dengan pengobatan atau perawatan pasien, pelatihan epidemiologi lapangan sering kali dilakukan sekaligus melatih keterampilan dan pelaksanaan pengendalian dan pencegahan penyakit. Sebagai contoh, sejak tahun 1951, Program EIS CDC telah memberikan bantuan kepada dinas kesehatan negara bagian dan daerah dan pada saat yang sama melatih para profesional kesehatan dalam praktik epidemiologi lapangan (22,23). Perubahan dalam kapasitas epidemiologi dinas kesehatan negara bagian dan daerah (24) juga menyoroti perlunya pelatihan dan pendidikan tenaga kerja terkait serangkaian keterampilan, seperti bioinformatika, ekonomi kesehatan, komunikasi, berpikir sistem, dan teknik laboratorium. Secara global, lebih dari 70 Program Pelatihan Epidemiologi Lapangan (Field Epidemiology Training Program, FETP) telah dimodelkan setelah EIS tetapi program-program ini dimiliki oleh masing-masing negara dan kementerian kesehatan. FETP menyediakan pelatihan di tempat kerja yang serupa tetapi disesuaikan dengan konteks budaya, mitra, kapasitas, dan sistem kesehatan masyarakat tertentu (25).
 
TANTANGAN UNIK BAGI AHLI EPIDEMIOLOGI DALAM INVESTIGASI LAPANGAN
Seorang ahli epidemiologi yang melakukan investigasi di lapangan menghadapi tantangan unik yang terkadang membatasi penggunaan metode ilmiah yang ideal. Berbeda dengan studi yang direncanakan secara prospektif yang umumnya didasarkan pada protokol yang dikembangkan dan disempurnakan dengan hati-hati, investigasi lapangan harus bergantung pada sumber data yang dapat segera tersedia, sulit dikendalikan, dan dapat berubah dalam hitungan jam atau hari. Selain kemungkinan adanya keterbatasan sumber data, faktor yang menimbulkan tantangan bagi ahli epidemiologi selama investigasi lapangan juga mencakup pertimbangan pengambilan sampel, ketersediaan spesimen, efek publisitas, keengganan orang untuk berpartisipasi, dan tekanan karena intervensi . Teknologi baru yang ada saat ini dapat memitigasi beberapa tantangan ini.
 
Sumber data
Investigasi lapangan sering menggunakan informasi yang disarikan dari berbagai sumber, seperti rekam medis rumah sakit, rekam medis rawat jalan, atau catatan kesehatan sekolah. Rekam medis dan catatan tersebut sangat bervariasi dalam hal kelengkapan dan akurasinya baik itu antar pasien, penyedia layanan kesehatan, dan fasilitasnya karena entri dibuat untuk tujuan lain, dan bukan untuk studi epidemiologi. Selain itu, transisi yang cepat dan substantif telah terjadi pada beberapa sumber informasi utama seperti, peningkatan penggunaan rekam medis elektronik, sistem data rumah sakit dan perawatan, serta sistem manajemen informasi laboratorium. Sistem otomatis ini dapat memfasilitasi akses ke arsip yang dibutuhkan tetapi mungkin tidak kompatibel dengan kebutuhan data dari investigator . Dengan demikian, kualitas catatan tersebut sebagai sumber data untuk investigasi epidemiologi dapat jauh lebih rendah daripada kualitas informasi yang diperoleh ketika investigator dapat memiliki kendali yang lebih besar melalui penggunaan kuesioner standar yang telah diuji sebelumnya; pemeriksaan fisik atau laboratorium; atau metode pengumpulan data yang dirancang secara prospektif, dan bukan retrospektif. Transisi ini mengharuskan ahli epidemiologi yang terlibat dalam investigasi lapangan semakin perlu mengetahui cara penggunaan sumber data semacam ini dan memiliki keterampilan yang diperlukan untuk menganalisisnya.
Meningkatnya penggunaan media sosial dan email dapat memfasilitasi penjangkauan dan pengajuan pertanyaan dari orang-orang yang mungkin mengalami paparan yang sama dalam situasi KLB , seperti peserta dalam acara terorganisir yang terkait dengan paparan sumber umum. Baru-baru ini, jaringan media sosial telah digunakan untuk membantu mengidentifikasi kontak orang dengan penyakit menular seksual yang mungkin berisiko tinggi dan harus dipertimbangkan untuk diberi profilaksis tertarget. Alat komunikasi ini telah memberikan wawasan tambahan ke dalam hubungan sosial dan perilaku berisiko tinggi dan telah digunakan untuk memandu dan menambah data yang dikumpulkan dari metodologi investigasi kasus tradisional (26).
 
Angka yang Kecil
Dalam studi prospektif yang direncanakan, ahli epidemiologi menentukan besaran sampel yang didasarkan pada kekuatan statistik untuk menarik kesimpulan tentang hubungan antara paparan dan outcome . Sebaliknya, KLB dapat melibatkan jumlah orang yang relatif kecil, sehingga memberikan keterbatasan pada desain studi, kekuatan statistik, dan aspek analisis lainnya. Keterbatasan ini, bisa membatasi generalisasi dan pengambilan kesimpulan dari investigasi lapangan. Namun, teknologi komunikasi antar wilayah administratif yang ada saat ini dapat digunakan untuk membantu mengatasi masalah ini. Misalnya, Pertukaran Informasi Epidemi elektronik (Epi-X) telah dikembangkan untuk petugas CDC, dinas kesehatan negara bagian dan daerah, pusat kendali racun, dan profesional kesehatan masyarakat lainnya agar mereka dapat mengakses dan berbagi informasi awal surveilans kesehatan (27). Meskipun motivasi utama untuk sistem ini adalah untuk meningkatkan diketahuinya kejadian lintas negara bagian atau penyebaran lintas negara bagian dari orang-orang dengan paparan penyakit di satu negara bagian atau di luar Amerika Serikat, kolaborasi lintas wilayah administratif memiliki manfaat tambahan dalam meningkatkan besaran sampel potensial untuk investigasi lapangan.
 
Ketersediaan Spesimen
Karena investigator lapangan biasanya tiba di tempat kejadian setelah kejadian, pengumpulan spesimen lingkungan atau biologi yang diperlukan tidak selalu memungkinkan. Misalnya, makanan yang dicurigai mungkin telah dimakan habis atau dibuang seluruhnya, sistem air yang dicurigai mungkin telah dibilas, atau orang yang sakit mungkin telah pulih, sehingga pengumpulan spesimen selama fase akut penyakit kemungkinan kurang informatif. Dalam kondisi ini, ahli epidemiologi bergantung pada ketekunan penyedia layanan kesehatan yang pertama kali mengevaluasi orang yang terdampak dan pada ingatan orang yang terdampak, kerabat mereka, atau anggota lain dari masyarakat yang terdampak.
Tantangan ini semakin diimbangi dengan perluasan teknologi di laboratorium untuk membantu penggunaan spesimen yang dikumpulkan secara rutin guna menentukan sumberKLB . Misalnya, PulseNet merupakan jaringan laboratorium nasional yang memungkinkan penggunaan fingerprint DNA untuk mendeteksi ribuan KLB lokal dan  lintas negara bagian (28), sehingga memungkinkan ahli epidemiologi dengan cepat menerapkan langkah-langkah pengendalian untuk masalah keamanan pangan yang tidak dapat dikenali jika tidak ada data tersebut. Sebagai contoh lain, pada tahun 2015, ahli epidemiologi menyelidiki KLB HIV terbesar di Amerika Serikat sejak tahun 1996. Analisis filogenetik gen target dalam human immunodeficiency virus dan virus hepatitis C memungkinkan ahli epidemiologi untuk secara retrospektif menentukan dan melakukan tindakan terhadap hubungan antara jenis KLB tertentu dengan komunitas pemakai jarum bersama yang terkontaminasi (29).
 
Efek Publisitas
KLB penyakit akut sering menimbulkan perhatian dan publisitas lokal yang cukup besar. Dalam hal ini, liputan media dapat membantu investigasi dengan membantu mengembangkan informasi, mengidentifikasi kasus, atau mempromosikan dan membantu menerapkan langkah-langkah pengendalian. Sebaliknya, publisitas seperti itu juga dapat menyebabkan orang-orang yang terdampak dan orang lain di masyarakat mengembangkan prasangka tentang sumber atau penyebabKLB yang dapat menyebabkan bias potensial dalam studi perbandingan atau kegagalan untuk sepenuhnya mengeksplorasi hipotesis alternatif.
Sebagai pegawai pemerintah, ahli epidemiologi lapangan berkewajiban untuk berkomunikasi dengan publik tentang apa yang diketahui, apa yang tidak diketahui, dan tindakan apa yang diambil untuk menilai ancaman kesehatan masyarakat. Banyak jurnalis berusaha keras untuk mencari dan membawa informasi ini untuk menjadi perhatian publik. Meskipun demikian, jurnalis juga dapat menghabiskan  banyak waktu dari ahli epidemiologi sehingga merugikan investigasi lapangan itu sendiri. Memastikan bahwa anggota tim respon memiliki waktu dan keterampilan untuk berkomunikasi secara efektif dengan pelapor dapat menjadi faktor penting untuk keberhasilan investigasi lapangan dan upaya pengendalian dan pencegahan penyakit, terutama dalam situasi yang sangat menarik perhatian publik (high-profile). Seringkali selama berlangsungnya suatu kejadian, saat informasi terungkap dan saat ahli epidemiologi lapangan menguji, menolak, atau menerima dan merumuskan kembali serta menguji ulang hipotesis, rekomendasi untuk intervensi mungkin berkembang atau menjadi lebih terfokus. Memberitahu pihak-pihak yang terdampak dan masyarakat tentang alasan perubahan ini sangat penting untuk memastikan kredibilitas ahli epidemiologi lapangan dan rekomendasi kesehatan masyarakat yang dihasilkannya (lihat Bab 12).
Dalam beberapa tahun terakhir, CDC dan badan kesehatan masyarakat lainnya telah menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan pesan kesehatan. Meskipun penggunaan media secara tidak terampil selama investigasi yang sedang berlangsung dapat menimbulkan tantangan, seperti tersebarnya mispersepsi atau bias informasi, media sosial juga dapat menjadi sarana yang efektif untuk memperluas jangkauan pesan kesehatan berbasis bukti yang relevan (30).
 
Keengganan untuk Berpartisipasi
Meskipun dinas kesehatan diberdayakan untuk melakukan investigasi dan mendapatkan akses ke catatan atau rekam medis, partisipasi sukarela dan kesediaan pihak yang terlibat (misalnya, pasien, orang yang berpotensi terpapar patogen, pemilik atau operator tempat paparan atau penularan mungkin terjadi) akan lebih kondusif untuk tercapainya kesuksesan investigasi dibandingkan partisipasi yang terpaksa. Selain itu, orang-orang yang mata pencaharian atau kepentingan terkaitnya terancam mungkin enggan untuk bekerja sama secara sukarela. Keengganan ini sering kali ditemui dalam kasus KLB yang terkait dengan restoran dan tempat umum lainnya, dalam investigasi bahaya lingkungan atau pekerjaan, atau di kalangan penyedia layanan kesehatan yang dicurigai sebagai sumber penularan penyakit menular, seperti hepatitis B. Ketika pihak yang terlibat tidak mau bekerja sama, penundaan investigasi akibat keengganan ini dapat membahayakan akses dan kualitas informasi (misalnya, menimbulkan bias dan mengurangi kekuatan statistik).
 
Keterbatasan dalam Pengambilan Keputusan Intervensi
Ahli epidemiologi yang melakukan investigasi lapangan sering kali bekerja di lingkungan dengan tipe fish bowl. Ahli epidemiologi yang melakukan investigasi lapangan dan petugas kesehatan masyarakat di bawah arahannya yang harus mempertimbangkan kepentingan kebutuhan investigasi lebih lanjut dibandingkan dengan perlunya intervensi segera, sering kali harus menghadapi pendapat yang kuat dan beragam dari orang yang terdampak dan anggota masyarakat lainnya. Dengan tidak adanya informasi definitif tentang sumber, penyebab, atau dampak potensial dari suatu masalah, berbagai pihak yang terdampak oleh situasi tertentu mungkin akan secara berbeda memandang implementasi tindakan pengendalian . Tindakan tersebut mungkin diterima oleh mereka yang memilih mengutamakan perlindungan kesehatan dan ditentang oleh mereka yang kepentingannya terancam karena alasan intervensi tidak cukup jelas. Menunda intervensi mungkin memberikan waktu untuk mendapatkan informasi yang lebih pasti, tetapi penundaan tersebut juga dapat menyebabkan penyakit tambahan. Meskipun dilema ini tidak hanya terjadi pada epidemiologi lapangan dalam bidang praktik kesehatan masyarakat, urgensi yang meningkat dari situasi akut dapat meningkatkan dampak emosional pada semua pihak yang terlibat.
 
STANDAR INVESTIGASI LAPANGAN EPIDEMIOLOGI
Investigasi lapangan terkadang dianggap mewakili apa yang kadang-kadang disebut sebagai epidemiologi “quick and dirty ”. Persepsi ini mungkin mencerminkan sifat bawaan dari keadaan yang memerlukan tanggapan cepat. Namun, kebutuhan akan tindakan cepat tidak membenarkan diambilnya jalan pintas epidemiologi. Sebaliknya, kebutuhan bertindak cepat ini menggarisbawahi pentingnya ahli epidemiologi lapangan menggabungkan ilmu pengetahuan yang baik dengan penilaian yang bijaksana. Deskripsi yang lebih baik tentang investigasi lapangan epidemiologi yang baik adalah “cepat dan tepat (quick and appropriate).”
            Dalam menilai investigasi lapangan epidemiologi, pertimbangan harus diberikan pada kualitas ilmu pengetahuan, peluang dan kendala yang membentuk konteks investigasi, dan penilaian yang diterapkan dalam menggunakan temuan untuk mengambil tindakan kesehatan masyarakat. Tujuan investigasi harus memaksimalkan kualitas ilmiah investigasi lapangan dalam menghadapi berbagai keterbatasan, tekanan, dan tanggung jawab yang dibebankan padainvestigator . Dengan demikian, standar investigasi lapangan epidemiologi adalah (1) tepat waktu; (2) mengatasi masalah kesehatan masyarakat yang penting, seperti yang didefinisikan oleh tindakan kesehatan masyarakat standar (misalnya, attack rate , penyakit parah yang nyata atau potensial, atau kematian) atau kekhawatiran masyarakat; (3) mengkaji kebutuhan sumber daya sejak dini dan menerapkannya secara tepat; (4) menggunakan metode epidemiologi deskriptif dan/atau analitik yang tepat yang memanfaatkan semua data yang tersedia secara optimal; (5) melibatkan keahlian, jika diperlukan, dari ilmu lainnya, seperti mikrobiologi, toksikologi, psikologi, antropologi, informatika, ekonomi, ilmu laboratorium, atau statistik; (6) menyelidiki kausalitas untuk memungkinkan identifikasi sumber dan/atau etiologi masalah (31); (7) mengidentifikasi pilihan berbasis bukti untuk pengendalian langsung dan intervensi jangka panjang; dan (8) dilakukan secara aktif dengan bekerja sama dengan pihak-pihak yang berperan dalam menentukan kebijakan, hukum, program, komunikasi, atau administrasi untuk memastikan bahwa bukti yang diperoleh dari investigasi digunakan secara optimal.
 
KESIMPULAN
Bab ini memberikan definisi dan kerangka kerja epidemiologi lapangan dalam konteks modern dan berkembang. Perkembangan utama dalam praktik kesehatan masyarakat selama beberapa dekade terakhir mencerminkan semakin meningkatnya pengakuan dan formalisasi epidemiologi lapangan, termasuk pembentukan program pelatihan epidemiologi lapangan yang berafiliasi dengan kementerian kesehatan dan badan kesehatan masyarakat tingkat nasional lainnya di seluruh dunia (32). Contoh lain dari tren ini termasuk pengembangan pelatihan epidemiologi lapangan di fakultas kesehatan masyarakat (33); program sarjana, dan bahkan program sekolah menengah dan sekolah menengah atas di Amerika Serikat; munculnya organisasi yang mempromosikan atau menghubungkan program epidemiologi lapangan tingkat nasional (34); dan pertumbuhan literatur yang berhubungan dengan epidemiologi lapangan di seluruh dunia (35,36). Program pengembangan tenaga kerja CDC di bidang epidemiologi lapangan, yaitu EIS, telah beroperasi terus menerus sejak tahun 1951 dan telah membantu melatih lebih dari 4.500 profesional dalam disiplin ini (37,38).
 
Ketika disiplin epidemiologi lapangan terus berkembang, perkembangan dan tren baru memadukan epidemiologi lapangan dalam praktik kesehatan masyarakat. Contoh perkembangan tersebut antara lain sebagai berikut.
  • Pentingnya pembangunan kapasitas epidemiologi global untuk melindungi Amerika Serikat dan populasi lainnya di era perjalanan yang meningkat dan keterhubungan populasi.
  • Potensi pihak-pihak yang terdampak KLB untuk mengancam atau mengajukan tuntutan hukum dan bagaimana ancaman atau litigasi dapat memengaruhi investigasi yang sedang berlangsung (misalnya, memperumit atau mengganggu pengumpulan data atau membuat atau meningkatkan bias respons).
  • Pentingnya praktik kesehatan masyarakat yang etis, termasuk kebutuhan berkelanjutan untuk menghormati privasi dan melindungi kerahasiaan dalam menghadapi sudut pandang budaya, kebijakan, hukum, dan teknologi yang terus berkembang.
  • Kesadaran dan kekhawatiran yang terus-menerus tentang kesengajaan sebagai penyebab KLB penyakit, termasuk ambang batas yang lebih rendah untuk mempertimbangkan tindakan yang disengaja sebagai determinan utama atau kontribusi untuk KLB dan kebutuhan badan kesehatan masyarakat dan penegak hukum untuk mengkoordinasikan investigasi ketika terdapat kecurigaan akan adanya tindakan kriminal atau teroris.
  • Penggunaan teknologi berbasis Internet dan teknologi informasi canggih lainnya selama investigasi lapangan untuk menghubungkan wilayah administratif, mengidentifikasi kasus dan kontak, melakukan survei atau mengumpulkan data kesehatan yang disimpan secara elektronik, dan mengkomunikasikan temuan dan tindakan pengendalian.
  • Penggunaan metode laboratorium baru untuk deteksi multipatogen, genetic sequencing, dan pengujian lingkungan untuk meningkatkan peluang mendeteksi dan menyelidiki epidemi, menekankan perlunya peningkatan komunikasi yang erat antara ahli epidemiologi dan ilmuwan laboratorium.
  • Meningkatnya harapan publik untuk transparansi pemerintah dan informasi yang tepat waktu tentang kejadian yang sedang berlangsung, dikombinasikan dengan munculnya media sosial dan siklus berita 24 jam untuk mengirimkan informasi instan, jika tidak secara konsisten akurat, yang masing-masing menggarisbawahi pentingnya peningkatan pengambilan keputusan berbasis bukti dan keterampilan komunikasi yang ditingkatkan.
 
Epidemiologi lapangan mengacu pada prinsip dan metode epidemiologi umum, dan ahli epidemiologi lapangan akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang familiar bagi semua ahli epidemiologi di mana pun mereka bekerja, termasuk pertanyaan tentang bagaimana metode studi dapat dirumuskan oleh kendala logistik dan jumlah informasi yang diperlukan untuk merekomendasikan atau mengambil tindakan. Selain itu, ahli epidemiologi lapangan dipengaruhi oleh tren praktik epidemiologi secara umum, seperti kekhawatiran publik tentang privasi informasi kesehatan, peningkatan otomatisasi informasi kesehatan, dan pertumbuhan penggunaan Internet. Bagaimanapun, epidemiologi lapangan bersifat unik dalam mengurangi dan menekan kekhawatiran ini dalam konteks keadaan darurat kesehatan masyarakat akut dan kejadian lainnya dan dalam mendorong ahli epidemiologi ke ranah administratif, hukum, dan etika dari pembuatan kebijakan dan tindakan kesehatan masyarakat.
 
UCAPAN TERIMA KASIH
Bagian-bagian dalam bab ini, sebagaimana tergabung dalam edisi-edisi sebelumnya dari buku ini, telah diadaptasi dari The epidemiologic field investigation: science and judgment in public health practiceAm J Epidemiol. 1990;132:91–96
 
REFERENSI
  1. Fraser DW, Tsai TR, Orenstein W, dkk. Legionnaires’ disease: description of an epidemic of pneumonia. N Engl J Med. 1977:297:1189–97.
  2. CDC. Follow-up on respiratory illness—Philadelphia. MMWR. 1997;46:49–56.
  3. CDC. 2014 Ebola outbreak in West Africa—case counts. https://www.cdc.gov/vhf/ebola/outbreaks/2014-west-africa/case-counts.html
  4. World Health Organization. Situation report—Ebola virus disease. 10 Juni 2016. http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/208883/1/ebolasitrep_10Jun2016_eng.pdf?ua=1pdf iconexternal icon
  5. Fasina O, Shittu A, Lazarus D, dkk. Transmission dynamics and control of Ebola virus disease outbreak in Nigeria, July to September 2014. Euro Surveill. 2014;19:pii=20920.
  6. CDC. Manual for the Surveillance of Vaccine-Preventable Diseases. Atlanta: CDC; 2008.
  7. Jernigan DB, Raghunathan PL, Bell BP, dkk. Investigation of bioterrorism-related anthrax, United States, 2001: epidemiologic findings. Emerg Infect Dis. 2002;8:1019–28.
  8. Butler JC, Cohen ML, Friedman CR, Scripp RM, Watz CG. Collaboration between public health and law enforcement: new paradigms and partnerships for bioterrorism planning and response. Emerg Infect Dis. 2002;8:1152–6.
  9. Treadwell TA, Koo D, Kuker K, Khan AS. Epidemiologic clues to bioterrorism. Public Health Rep. 2003;118:92–118.
  10. Diaz MH, Cross KE, Benitez AJ, dkk. Identification of bacterial and viral codetections with Mycoplasma pneumoniae using the TaqMan Array Card in patients hospitalized with community-acquired pneumonia. Open Forum Infect Dis. 2016;3:1–4.
  11. Mandl KD, Overhage MJ, Wagner MM, dkk. Implementing syndromic surveillance: a practical guide informed by the early experience. J Am Med Inform Assoc. 2004;11:141–50.
  12. Institute of Medicine, National Research Council. BioWatch and Public Health Surveillance: Evaluating Systems for the Early Detection of Biological Threats—Abbreviated Version. Washington, DC: National Academies Press; 2011.
  13. Steere AC, Malawista SE, Snydman DR, dkk. Lyme arthritis: an epidemic of oligoarticular arthritis in children and adults in three Connecticut communities. Arthritis Rheum. 1977;20:7–17.
  14. Schulte PA, Ehrenberg RL, Singal M. Investigation of occupational cancer clusters: theory and practice. Am J Public Health. 1987;77:52–6.
  15. CDC. Investigating suspected cancer clusters and responding to community concerns: guidelines from CDC and the Council of State and Territorial Epidemiologits. MMWR. 2013;62(RR-8):1–24.
  16. Rosenberg ML, Koplan JP, Wachsmith IK, dkk. Epidemic diarrhea at Crater Lake from enterotoxigenic. Escherichia coli: a large waterborne outbreak. Ann Intern Med. 1977;86:714–8.
  17. Holmberg SD, Osterholm MT, Senger KA, Cohen ML. Drug-resistant Salmonela from animals fed antimicrobials. N Engl J Med. 1984;311:617–22.
  18. Goodman RA, Loue S, Shaw FE. Epidemiology and the law. Dalam: Brownson RC, Petitti DB, editor. Applied Epidemiology: Theory to Practice. Edisi Ke-2. New York: Oxford University Press; 2006:289– 326.
  19. Goodman RA, Munson JW, Dammers K, Lazzarini Z, Barkley JP. Forensic epidemiology: law at the intersection of public health and criminal investigations. J Law Med Ethics. 2003;31:684–700.
  20. Miller J. City and FBI reach agreement on bioterror investigations. The New York Times. 21 November 2004.  https://mobile.nytimes.com/2004/11/21/nyregion/city-and-fbi-reach-agreement-on-bioterror-investigations.html?_r=0external icon
  21. FBI, CDC. Joint criminal and epidemiological investigations handbook. 2015 Domestic edition. https://stacks.cdc.gov/view/cdc/34556
  22. Langmuir AD. The Epidemic Intelligence Service of the Centers for Disease Control. Public Health Rep. 1980;104:170–7.
  23. Thacker SB, Dannenberg AL, Hamilton DH. Epidemic Intelligence Service of the Centers for Disease Control and Prevention: 50 years of training and service in applied epidemiology. Am J Epidemiol. 2001;154:985–92.
  24. Boulton ML, Hadler JL, Ferland L, Marder E, Lemmings J. The epidemiology workforce in state and local health departments—United States, 2010. MMWR. 2012;61;205–8.
  25. CDC Division of Global Health Protection. Field Epidemiology Training Program: disease detectives in action. https://www.cdc.gov/globalhealth/healthprotection/pdf/factsheet_fieldepidemiologytrainingprogram.pdfpdf icon
  26. Isaac BM, Zucker JR, MacGregor J, dkk. Notes from the field: use of social media as a communication tool during a mumps outbreak—New York City, 2015. MMWR. 2017;66;60–1.
  27. CDC. Epi-X. The Epidemic Information Exchange. https://www.cdc.gov/epix/
  28. CDC. PulseNet. https://www.cdc.gov/pulsenet/
  29. Galang RR, Gentry J, Conrad C, dkk. Phylogenetic analysis of HIV and hepatitis C virus co-infection in an HIV outbreak among persons who inject drugs. Konferensi Epidemic Intelligence Service (EIS) Tahunan Ke-65. Mei 2–5, 2016, Atlanta. [Abstrak pada halaman 23]. https://www.cdc.gov/eis/downloads/eis-conference-2016.pdfpdf icon
  30. CDC. The health communicator’s social media toolkit. https://www.cdc.gov/socialmedia/Tools/guidelines/pdf/SocialMediaToolkit_BM.pdfpdf icon
  31. Rothman KJ, Greenland S, Lash TL. Modern Epidemiology. Edisi Ke-3. Philadelphia: Lippincott; 2008.
  32. CDC. Career Paths to Public Health (CPP). https://www.cdc.gov/careerpaths/
  33. University of North Carolina Gillings School of Global Public Health. Public Health Leadership Program online certificate in field epidemiology. http://sph.unc.edu/phlp/phlp-degrees-and-certificates/certificate-in-field-epidemiology/external icon
  34. European Programme for Intervention Epidemiology Training (EPIET). EPIET fellowships. http://ecdc.europa.eu/en/epiet/Pages/HomeEpiet.aspxexternal icon
  35. Dabis F, Drucker J, Moren A. Epidémiologie d’intervention. Paris: Arnette; 1992.
  36. Iamsirithaworn S, Chanachai K, Castellan D. Field epidemiology and One Health: Thailand’s experience. In: Yamada A, Kahn LH, Kaplan B, Monath TP, Woodall J, Conti L, editors. Confronting Emerging Zoonoses: The One Health Paradigm. Tokyo: Springer; 2014:191–212.
  37. Langmuir AD, Andrews JM. Biological warfare defense: the Epidemic Intelligence Service of the Communicable Disease Center. Am J Public Health. 1952;42:235–8.
  38. CDC. Epidemic Intelligence Service. https://www.cdc.gov/eis/diseasedetectives.html

 

Alamat

Gedung C Lantai 3
Ditjen P2P Kementerian Kesehatan RI
Jl. Percetakan Negara No.29, RT.23/RW.7, Johar Baru, Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10560

08111690148
2018 © FETP Indonesia. Hak Cipta dilindungi Undang - Undang.