FETP Indonesia

Manual Epidemilogi Lapangan CDC

Manual Epidemilogi Lapangan CDC

Halaman ini adalah terjemahan dalam bahasa indonesia dari Epidemic Intelligence Service CDC

Lihat Versi Asli
Unduh Bab 15

Bab 15: Investigasi KLB Multinasional

Frank Mahoney Dan James W. Le Duc

PENDAHULUAN

Berbagi informasi tentang KLB penyakit menular di antara negara-negara yang terkena dampak dimulai dari sejarah yang tercatat paling awal dan berlangsung selama berabad-abad hingga era modern ( Tabel 15.1 ). Koordinasi yang lebih formal dari respons KLB internasional dimulai pada abad kesembilan belas, ketika materi cetak didistribusikan secara luas dan publikasi tentang analisis data KLB dan strategi pencegahan internasional tersebar luas. Bab ini memberikan perspektif mengenai koordinasi respons KLB internasional, yang telah berkembang secara substansial sejak upaya abad kesembilan belas dan kedua puluh.

Tabel 15.1
Latar belakang sejarah berbagi informasi tentang KLB penyakit menular di antara negara-negara yang terkena dampak

Tanggal

Kejadian

430 SM

Thucydides menggambarkan KLB dengan kematian tinggi yang merusak Athena, Yunani, menyebabkan kepanikan dan ketakutan dalam skala luas di antara 315.000 penduduk kota tersebut ( 1 ). Gejalanya meliputi demam mendadak, sakit kepala, kelelahan, dan nyeri di perut dan ekstremitas, disertai dengan muntah parah, diare, dan pendarahan dari mulut ( 1–3 ). Dehidrasi menjadi begitu berat sehingga orang-orang menceburkan diri ke dalam sumur. Penyakit sering berakhir dengan kematian dalam 7-9 hari. Petugas kesehatan sering terkena, tetapi mereka yang bertahan dapat mengobati orang lain tanpa terinfeksi ulang. Dokter modern berspekulasi bahwa demam berdarah yang fatal dan berkembang cepat ini disebabkan oleh penyakit virus Ebola ( 2,3 ).

460–370 SM

Hippocrates menjelaskan gambaran klinis dan epidemiologi dari penyakit dan KLB yang rawan epidemi ( 4 ).

Abad ke-1 SM – abad ke-1 M

Dalam sebuah buku tentang pertanian, Marcus Terentius Varro merekomendasikan membangun rumah jauh dari rawa karena makhluk terlalu kecil untuk dilihat dengan mata tetapi masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan penyakit ( 5 ). Ahli agrikultur lain, Lucius Junius Moderatus Columella (4–c. 70 M), juga memperingatkan bahwa rawa melepaskan uap hama dan menghasilkan kawanan serangga yang menyebabkan kerusakan ( 5 ). Selama era yang sama, orang Yunani dan Romawi mengembangkan sistem untuk isolasi dan pengobatan pasien dengan penyakit epidemik ( 6 ), sebuah praktik yang berlanjut sepanjang Abad Pertengahan dan hingga zaman modern ( 5,6 ).

1829–1849

Sebuah pandemi kolera memajukan pengembangan prinsip-prinsip investigasi epidemiologi modern, termasuk karakterisasi penyakit berdasarkan orang, tempat, dan waktu ( 7 ). Selama KLB, pada tahun 1832, Amariah Brigham menerbitkan spot map dan rute perdagangan yang merinci penyebaran kolera dalam skala global ( 8,9 ). Komisi ditetapkan dan informasi dibagikan dalam beberapa hari dan dikirim dengan kapal, kereta api, dan kereta kuda ke negara lain yang terkena dampak.

1851

Konferensi Sanitasi Internasional pertama diadakan di Paris untuk menyelaraskan persyaratan karantina laut yang saling bertentangan dan mahal dari berbagai negara Eropa ( 10 ).

1892

Perjanjian internasional pertama yang menangani kolera ditandatangani pada Konferensi Sanitasi Internasional ketujuh di Venesia.

1893 dan 1894

Konferensi di Dresden dan Paris menghasilkan dua kesepakatan tambahan yang berkaitan dengan kolera.

1897

Negara-negara mengadopsi kesepakatan tentang cara-cara untuk mencegah penyebaran KLB.

1903

Empat perjanjian sebelumnya dikonsolidasikan menjadi satu perjanjian sanitasi internasional.

1907

Perwakilan pemerintah di Roma setuju untuk mendirikan Office Internasional d'Hygiène Publique(OIHP) di Paris, dengan sekretariat permanen dan komite permanen petugas kesehatan-masyarakat senior untuk mengawasi aturan internasional mengenai karantina kapal dan pelabuhan untuk mencegah penyebaran KLB dan kolera dan untuk mengelola perjanjian kesehatan-masyarakat lainnya.

1924

Setelah Perang Dunia I, Organisasi Kesehatan Liga Bangsa-Bangsa didirikan dengan fokus awal pada deteksi dan respons terhadap epidemi di Eropa; kemudian menjadi sebuah organisasi di Jenewa, Swiss, meletakkan dasar untuk fungsi inti dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

1946

OIHP dibubarkan dan layanan epidemiologinya dimasukkan ke dalam Komisi Interim WHO.

1948

WHO secara resmi didirikan dan merevisi, dan mengkonsolidasikan Peraturan Sanitasi Internasional.

1969

Peraturan Sanitasi Internasional diubah namanya menjadi Peraturan Kesehatan Internasional (International Health Regulations,IHR); versi pertama ini mencakup sistem pelaporan pasif untuk kolera, demam kuning, dan KLB. WHO menerbitkan fitur-fitur utama penyakit dalam Catatan Epidemiologi Mingguan dan menjelaskan tindakan yang dapat diterima secara maksimal untuk mencegah penyebaran penyakit secara internasional dengan menetapkan standar untuk pelabuhan dan bandara untuk mencegah penularan penyakit.

2005

Dengan pertumbuhan perjalanan dan perdagangan internasional dan munculnya ancaman penyakit secara internasional, World Health Assembly (WHA) menyerukan revisi substansial terhadap IHR; edisi ketiga ditetapkan oleh WHA ke-58 ( 11 ).

INTERNATIONAL HEALTH REGULATIONS: IHR (PERATURAN KESEHATAN INTERNASIONAL)

International Health Regulationmembentuk dasar untuk kolaborasi dan koordinasi internasional dalam deteksi dan respons terhadap KLB ( Kotak 15.1 ). Sebagai perjanjian internasional, IHR mengikat semua 196 Negara Anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). IHR berfokus pada pencegahan, perlindungan terhadap, pengendalian, dan respons terhadap penyebaran penyakit internasional tanpa gangguan yang tidak perlu pada lalu lintas dan perdagangan ekonomi. Edisi 2005 berisi perubahan utama dari dua versi sebelumnya, termasuk:

  • Tidak membatasi cakupan penyakit atau cara penularan tertentu, tetapi mencakup “penyakit atau kondisi medis, terlepas dari asal atau sumbernya,”
  • Kewajiban Negara Anggota untuk mengembangkan kapasitas inti kesehatan-masyarakat untuk mendeteksi dan menanggapi KLB,
  • Tanggung jawab Negara Anggota untuk memberi tahu WHO tentang kejadian yang mungkin merupakan keadaan darurat kesehatan-masyarakat yang menjadi perhatian internasional.
  • Otorisasi WHO untuk mempertimbangkan laporan tidak resmi dari kejadian kesehatan-masyarakat dan memperoleh verifikasi dari Pihak Negara Anggota mengenai kejadian tersebut,
  • Prosedur Direktur Jenderal WHO untuk menyatakan public health emergency of international concern (PHEIC, [Kedaruratan kesehatan-masyarakat yang menjadi perhatian internasional]) dan penerbitan rekomendasi sementara yang sesuai ( 11 ).

Kedaruratan kesehatan-masyarakat yang menjadi perhatian internasionaldidefinisikan sebagai kejadian luar biasa yang dapat menimbulkan risiko kesehatan-masyarakat bagi negara lain melalui penyebaran penyakit secara internasional dan memerlukan tanggapan yang terkoordinasi secara internasional ( 11 ). Meskipun IHR saat ini mencakup tanggung jawab yang cukup besar untuk Negara Anggota dan WHO, tidak ada ketentuan yang disertakan untuk memastikan Negara Anggota mematuhi perjanjian yang mengikat secara hukum.

Kotak 15.1
Respons Internasional untuk Sindrom Pernafasan Akut Berat (SARS)

Saat Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) sedang dikembangkan, komunitas global menanggapi KLB yang tidak diketahui asalnya yang dinamai Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) ( 12 ). Penyebaran SARS yang cepat menyoroti pentingnya koordinasi dan kolaborasi dalam penanggulangan KLB internasional ketika virus menyebar ke seluruh dunia pada tahun 2003. Selama KLB, informasi dibagikan secara elektronik, sehingga memberikan pengetahuan terperinci tentang agen penyebab KLB, cara penularan, dan fitur epidemiologi lainnya. Berbagi informasi secara waktu nyata sangat penting untuk memberikan panduan tentang manajemen klinis dan tindakan perlindungan untuk mencegah penyebaran lebih lanjut. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan serangkaian rekomendasi untuk menghentikan penyebaran internasional, dan bandara menyaring penumpang untuk riwayat kontak yang sakit dengan SARS atau penyakit klinis yang kompatibel dengan SARS. Meskipun penyebarannya luar biasa, KLB berhasil diatasi dalam waktu 4 bulan dan merupakan contoh yang baik tentang bagaimana mekanisme IHR dapat berhasil diterapkan selama koordinasi respons KLB ( 12 ).

Mekanisme Kerja sama dalam Investigasi KLB Internasional

Sebagaimana diuraikan dalam IHR, tanggung jawab untuk mendeteksi, menyelidiki, dan menanggapi KLB berada di dalam otoritas kesehatan negara tempat KLB itu terjadi. Kadang-kadang, suatu negara memiliki kapasitas terbatas untuk merespons suatu KLB, sehingga memerlukan bantuan teknis dari luar. Otoritas kesehatan nasional mungkin ragu untuk meminta bantuan karena masalah ekonomi dan politik, termasuk dampak KLB di berbagai sektor. Peran dan tanggung jawab mitra yang berbeda untuk dukungan internasional selama respons KLB diuraikan dalam bagian berikut.

Kementerian Kesehatan

Manajemen KLB oleh otoritas kesehatan nasional telah berkembang, dan sebagian besar negara menggunakan beberapa jenis sistem manajemen terstruktur untuk merespons. Selama KLB penyakit virus Ebola baru-baru ini, Nigeria, Liberia, Sierra Leone, dan Guinea mendirikan Emergency Operations Centers(EOC) dan Incident Management System(IMS) untuk mengkoordinasikan respons KLB dan dukungan internasional. Dalam IMS, manajer EOC membentuk kelompok kerja teknis, yang diketuai bersama oleh mitra teknis, untuk mengelola berbagai aspek respons (misalnya, manajemen klinis, surveilans, dukungan laboratorium, komunikasi, dan pelacakan kontak) ( 13 ). Selama KLB kompleks seperti Ebola, sebagian besar negara mengkoordinasikan permintaan bantuan melalui WHO; namun, pihak berwenang dapat secara langsung meminta bantuan dari mitra atau Negara Anggota. Selain itu, Negara Anggota dapat menawarkan dukungan yang tidak diminta melalui berbagai saluran, termasuk WHO.

WHO

Direktorat Tanggap Darurat di WHO memberikan bantuan teknis kepada Negara-Negara Anggota untuk deteksi dini dan tanggapan terhadap KLB penyakit menular yang menjadi perhatian internasional. Sebagai akibat dari epidemi Ebola, WHO menerima kritik tentang respons awal yang lemah dan menjalankan proses reformasi untuk menanggapi KLB yang menjadi perhatian internasional ( 14 ). Reformasi ini mencapai puncaknya dalam resolusi WHA pada tahun 2016 untuk mengadopsi Program Darurat Kesehatan “untuk memberikan dukungan yang cepat, dapat diprediksi, dan komprehensif kepada negara dan masyarakat saat mereka bersiap untuk menghadapi, atau pulih dari keadaan darurat yang disebabkan oleh segala jenis bahaya...” Reorganisasi di Jenewa mengumpulkan ahli penyakit menular dan tanggap darurat di bawah sistem manajemen terpusat yang diatur ke dalam lima bidang kerja:

  • Manajemen bahaya infeksi.
  • Kesiapsiagaan darurat kesehatan negara.
  • Informasi darurat kesehatan dan penilaian risiko.
  • Operasi darurat.
  • Layanan utama.

Struktur organisasi ini umumnya tercermin dalam kantor regional WHO. WHO juga memiliki daftar ahli teknis melalui Jaringan Kewaspadaan dan Respons KLB Global (GOARN) yang dapat mendukung semua aspek respons KLB internasional ( 15 ).

GOARN

Pada April 2000, WHO membentuk jaringan mitra resmi untuk menanggapi KLB penyakit menular, bencana alam, dan kedaruratan kemanusiaan lainnya. GOARN adalah kolaborasi institusi dan jaringan, selalu waspada dan siap merespons KLB dengan cepat. Mitra utama termasuk lembaga akademis dan ilmiah, inisiatif medis dan surveilans, jaringan laboratorium, organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Palang Merah (Komite Internasional Palang Merah, Federasi Internasional Palang Merah, Perhimpunan Bulan Sabit Merah, dan masyarakat perbantuan lainnya) dan organisasi kemanusiaan internasional non-pemerintah (misalnya, Médecins sans Frontières, Komite Penyelamatan Internasional, Bantuan Darurat Medis Internasional [juga dikenal sebagai MERLIN], dan Epicentre). Jaringan tersebut menggabungkan sumber daya manusia dan teknis untuk identifikasi cepat, konfirmasi, dan tanggapan terhadap KLB untuk mencegah penyebaran internasional dan untuk mengembangkan kapasitas mengenai kesiapsiagaan epidemi jangka panjang di Negara-negara Anggota terpilih. Semua aktivitas diselaraskan dengan enam bidang kerja, termasuk:

  • Penguatan kebijakan, prosedur operasional, dan fungsi sekretariat GOARN
  • Memperluas partisipasi dalam jaringan.
  • Melibatkan mitra dalam kegiatan waspada dan penilaian risiko.
  • Melibatkan pemangku kepentingan melalui komunikasi dan advokasi.
  • Mengembangkan riset dan perangkat operasional.
  • Menyiapkan program pelatihan dalam penanggulangan KLB.

Setiap kantor regional WHO berpartisipasi dalam GOARN, dengan banyak yang memiliki koordinator GOARN yang berdedikasi. Di Wilayah Pasifik Barat WHO, GOARN merupakan komponen dari rencana kerja Strategi Asia Pasifik untuk Penyakit Emerging. GOARN menerima beberapa permintaan setiap tahun untuk mendukung pengembangan kapasitas dalam kesiapsiagaan darurat.

Sejak GOARN dibentuk, para mitranya telah memberikan dukungan dalam sejumlah besar keadaan darurat kesehatan-masyarakat, termasuk epidemi Ebola Afrika Barat ( Kotak 15.2 ). Dalam kemitraan dengan WHO, GOARN mengerahkan lebih dari 1.100 ahli dalam menanggapi Ebola, termasuk ahli dalam surveilans, epidemiologi, penemuan kasus, pelacakan kontak, dan manajemen informasi dan analisis. The GOARN Emerging and Dangerous Pathogens Laboratory mengerahkan lebih dari 25 laboratorium keliling dengan lebih dari 200 ahli untuk memberikan bantuan diagnostik untuk konfirmasi cepat terhadap kasus ( 16 ).

Kotak 15.2
Respons Internasional terhadap KLB Penyakit Virus Ebola (2014–2016)

Sementara respons terhadap sindrom pernapasan akut berat (SARS) menyoroti efektivitas mekanisme Peraturan Kesehatan Internasional (IHR), respons terhadap KLB penyakit virus Ebola di Afrika Barat menyoroti kekurangan luar biasa dari kapasitas respons global. Beberapa negara memiliki kapasitas untuk mendeteksi dan menanggapi KLB sebagaimana diwajibkan dalam peraturan yang mengikat secara hukum.

Tantangan utama yang dihadapi mencakup koordinasi respons, deteksi dini dan isolasi pasien, manajemen klinis pasien, dan pengembangan tenaga kerja terampil untuk mendukung perawatan dan pengawasan klinis. Semua negara memiliki tantangan logistik terkait pembangunan dan perlengkapan pusat perawatan. Pada awal respons, otoritas kesehatan nasional dan mitra ditantang dengan mencoba mencapai konsensus mengenai strategi khusus untuk respons keseluruhan.

Selain keterbatasan kapasitas negara-negara yang terkena dampak, terdapat kekurangan dalam respons WHO, termasuk pendanaan yang tidak memadai, staf yang terbatas untuk dukungan operasional, dan skala respons awal yang terbatas ( 14 ). Dukungan bilateral dari beberapa negara dan Global Outbreak Alert and Response Network (GOARN) membantu mengatasi kesenjangan operasional.

Selama respons, lebih dari 60 pusat perawatan Ebola didirikan di Sierra Leone, Liberia, dan Guinea, dan lebih dari 40 organisasi dan 58 tim medis asing dikerahkan, termasuk 2.500 personel untuk mengoperasikan pusat-pusat ini. Sebagai respons terhadap KLB di dalam situasi tanpa unit pengobatan, pusat perawatan masyarakat didirikan ( 16 ).

Terlepas dari dukungan dari GOARN dan mitra, KLB tersebut menyoroti perlunya kapasitas lonjakan internasional yang lebih kuat untuk saat-saat ketika negara-negara kewalahan oleh KLB dan pentingnya meningkatkan kapasitas pengendalian infeksi di negara-negara berkembang.

Sistem Klaster PBB

KLB yang menjadi perhatian internasional sering terjadi di negara-negara yang mengalami kedaruratan kemanusiaan. Pada tahun 2005, Majelis Umum PBB mengadopsi sistem klaster untuk meningkatkan kapasitas dalam menanggapi kedaruratan kemanusiaan ( 17 ). Sistem ini mencakup kelompok organisasi kemanusiaan (PBB dan non-PBB) yang bekerja di sektor utama respons kemanusiaan. Kadang-kadang, sistem klaster telah terlibat dalam mengelola respons KLB, terutama ketika KLB terjadi selama kedaruratan kemanusiaan (misalnya, KLB kolera 2017 di Somalia). Secara historis, KLB sering menyebabkan krisis kemanusiaan seperti KLB Ebola di Afrika Barat. Sistem klaster tidak diaktifkan selama KLB Ebola; namun, PBB membentuk Misi untuk Tanggap Darurat Ebola, yang membantu mengkoordinasikan tanggapan tersebut.

SURVEILANS PENYAKIT GLOBAL ATAU REGIONAL DAN JARINGAN LABORATORIUM UNTUK PENYAKIT YANG MENJADI PERHATIAN INTERNASIONAL

Berbagai jaringan laboratorium global mendukung deteksi dini dan respons terhadap KLB penyakit menular. WHO mengatur dan mendukung banyak dari jaringan ini, termasuk jaringan laboratorium untuk polio, campak, influenza, penyakit bakteri invasif, dan demam kuning ( 18 ). Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa juga memelihara jaringan pengawasan multinasional untuk penyakit Legiuner, TBC, resistansi antimikroba, penyakit Creutzfeldt-Jakob, difteri, dan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin bakteri invasif ( 19 ). Pada tahun 1999, Departemen Pertahanan AS mendirikan sistem Global Emerging Infections Surveillance and Response (GEIS) di laboratorium dan institusi medisnya di luar negeri. GEIS telah memberikan kontribusi penting selama beberapa KLB, termasuk laporan pertama dari jenis baru pandemi influenza pada tahun 2009 ( 20 ).

Pengembangan kapasitas untuk karakterisasi molekuler bakteri patogen telah mendorong dilakukannya pembentukan jaringan surveilans penyakit bawaan makanan ( 21,22 ). PulseNet International adalah jejaring dari tujuh jaringan laboratorium nasional dan regional yang didedikasikan untuk melacak kasus penyakit bawaan makanan yang dilaporkan di seluruh dunia. Laboratorium yang berpartisipasi didukung oleh Department of Health and Human Services U.S CDC dan menggunakan metode genotipe standar. Subtipe dan informasi epidemiologi dibagikan secara waktu nyata di antara laboratorium yang berpartisipasi. PulseNet memberikan peringatan dini KLB internasional penyakit bawaan makanan dan bawaan air melalui deteksi klaster kasus yang terkait dengan subtipe tertentu. Jejaring dari jaringan-jaringan ini merupakan sarana yang efisien untuk menentukan cakupan internasional dari KLB semacam itu dan merupakan komponen penting dari investigasi KLB internasional.

KERJA LAPANGAN SELAMA INVESTIGASI INTERNASIONAL

Kerja lapangan selama investigasi KLB internasional dapat menjadi tantangan dan dengan demikian membutuhkan keterampilan unik untuk berkontribusi secara efektif pada respons. Personel yang ditempatkan harus belajar sebanyak mungkin sebelum penempatan, tidak hanya tentang penyakit yang akan mereka selidiki tetapi juga tentang negara dan budaya tempat mereka akan bekerja. Tantangan yang dialami di lapangan sering kali terkait dengan konteks budaya dari KLB dan bekerja dalam kondisi dengan laboratorium terbatas, manajemen data, informatika, dan kapasitas sumber daya manusia. Petugas lapangan harus fleksibel dan belajar bagaimana menjadi efektif terlepas dari kendala-kendala ini. Tantangan utama yang terkait dengan kesiapan dan kerja lapangan meliputi:

  • Menjelaskan peran dan tanggung jawab.KLB sering menekankan kapasitas respons nasional, dan, terkadang, siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan tugas yang tidak jelas. Tim internasional mungkin menerima instruksi dengan strategi yang saling bertentangan yang datang dari berbagai bagian pemerintah dan mengalami kurangnya hubungan mengenai respons keseluruhan. Nigeria mengalami krisis seperti itu pada tahun 2014, dengan kedatangan seorang diplomat Liberia yang mengidap penyakit virus Ebola. Negara ini tidak memiliki perencanaan dalam menghadapi impor penyakit dan tidak memiliki kapasitas untuk mengisolasi pasien dengan aman. Peran dan tanggung jawab antara pejabat federal dan negara bagian kurang jelas. Tanggapan awal termasuk rencana yang berbeda untuk mendirikan pusat pengobatan, tidak ada yang realistis dalam mengatasi kebutuhan mendesak untuk mengisolasi kontak demam dari pelancong Liberia. Pada satu titik, delapan kontak demam dari pelancong Liberia tinggal di komunitas tanpa tempat yang cocok untuk menerima pengobatan. Setelah perdebatan panjang tentang pilihan pengobatan, kementerian kesehatan membentuk struktur tim komando insiden dengan menggunakan staf dari polio EOC untuk mengelola KLB ( 23 ). Tim dengan cepat mengidentifikasi pendekatan untuk mengisolasi pasien dan mengatasi KLB dengan mengubah bangsal rumah sakit yang ditinggalkan menjadi pusat pengobatan sebagai tindakan sementara sampai lokasi yang lebih cocok diidentifikasi ( Gambar 15.1 ). Selama situasi krisis seperti itu, konsultan harus membangun dan memelihara hubungan yang kuat dengan mitra yang berbeda dalam respons, bahkan ketika masalah kontroversial muncul dan ketidaksepakatan terjadi di antara mitra.
    Gambar 15.1

    Pusat pengobatan Ebola darurat menggunakan bangsal rumah sakit tua dengan sumber air, sanitasi, dan kebersihan sampai pusat perawatan yang lebih sesuai dapat didirikan: Nigeria, 2014.

    Gambar 15.1

  • Memastikan kapasitas teknis yang memadai.Ahli epidemiologi lapangan yang dikerahkan ke lokasi KLB mungkin menyadari bahwa mereka tidak dilengkapi dengan baik untuk mengatasi tantangan unik yang mereka hadapi di lapangan. Ketika diminta untuk menerima penugasan internasional, kandidat harus menerima tugas atau kerangka acuan kerja (KAK) yang jelas dan hanya menerima penugasan dengan KAK yang dapat mereka tangani. Ini adalah masalah selama respons Ebola di mana keterampilan teknis khusus diperlukan untuk mendukung penguburan yang aman, prosedur air dan sanitasi, manajemen klinis pasien, dan pengendalian infeksi. Untuk mengatasi masalah ini, mitra respons mengembangkan program pelatihan untuk petugas sebelum penempatan mereka. Terlepas dari pelatihan ini, petugas terkadang membutuhkan pendampingan dan bimbingan dari petugas yang berpengalaman selama penempatan mereka.
  • Sensitivitas lintas budaya.Saat melakukan investigasi lapangan, petugas lapangan harus peka terhadap norma budaya masyarakat tempat mereka ditempatkan dan menyesuaikan pendekatan mereka dengan investigasi dan respons lapangan. Misalnya, praktik penguburan yang unik harus dipertimbangkan saat merancang intervensi penguburan yang aman selama KLB Ebola. Saat merancang intervensi, mengenali bahwa mitra lokal mungkin memiliki pendekatan yang berbeda dan sama-sama valid untuk pemecahan masalah sangat penting.
  • Bekerja dalam kondisi yang rapuh.KLB sering terjadi di negara bagian yang rapuh atau suatu negara dengan sistem pelayanan kesehatan terbatas. Petugas lapangan perlu menangani masalah keamanan dan politik yang rumit dengan hati-hati karena ketidakpercayaan dan ketegangan antara pemerintah dan masyarakat yang dilayaninya. Dalam situasi seperti itu, melibatkan organisasi masyarakat sipil atau tokoh masyarakat sebagai lawan bicara untuk mendukung kerja lapangan dan tanggapannya sering kali membantu. Negosiator akses netral (misalnya, Palang Merah) dapat berkomunikasi dengan tokoh masyarakat di daerah yang terkena dampak dan membantu merekrut tim lokal dari masyarakat yang terkena dampak untuk membantu respons.
  • Berbagi data dan sampel.Tidak ada yang membuat seorang penyelidik lapangan untuk pulang lebih cepat daripada berbagi data atau sampel klinis yang tidak tepat. Berbagi data atau sampel klinis sering menjadi masalah yang diperdebatkan, dan mengakui kedaulatan data nasional dan meminta izin dari otoritas kesehatan sangat penting. Berbagi data antar institusi juga bisa menimbulkan perdebatan. Praktik terbaik termasuk mengirimkan semua permintaan secara tertulis dan memiliki perjanjian berbagi data dengan otoritas kesehatan nasional; tindakan ini akan membantu memastikan bahwa setiap orang memiliki pemahaman yang kuat tentang data dan sampel klinis apa yang dapat dibagikan.

KESIMPULAN

Meskipun kemajuan besar telah dicapai dalam mengkoordinasikan respons KLB internasional, publikasi dan revisi IHR tidak mencegah penyebaran Ebola di Afrika Barat dan menyoroti perlunya perbaikan lanjutan dari respons global terhadap KLB internasional. Sejak 2009, ada empat deklarasi kedaruratan kesehatan-masyarakat yang menjadi perhatian internasional. Dalam setiap deklarasi, WHO dan komunitas global telah memperoleh pengalaman dan pelajaran tentang koordinasi respons. Upaya utama untuk mendukung WHO termasuk pekerjaan GOARN, jaringan laboratorium global, dan dukungan dari organisasi utama dan Negara Anggota.

REFERENSI

  1. Thucydides. History of the Peloponnesian War. Book 2. Oxford: Clarendon Press; 1900:137–40.
  2. Kazanjian P. Ebola in antiquity? Clin Infect Dis. 2015;61:963–8.
  3. Olson PE, Hames CS, Benenson AS, Genovese EN. Thucydides syndrome: Ebola déjà vu? (or Ebola reemergent?). Emerg Infect Dis. 1996;2:155–6.
  4. Pappas G, Kiriaze IJ, Falagas ME. Insights into infectious disease in the era of Hippocrates. Int J Infect Dis. 2008;12:347–50.
  5. Dehnhardt WL. ¿Hubo infectólogos en la Antigua Roma? [in Spanish]. Rev Chil Infect. 2010;27:165–9.
  6. Sabbatani S. Excursus sull’organizzazione dell’assistenza in tempi di pestilenza [Italian]. Le Infezioni in Medicina. 2003;3:161–7.
  7. McLeod KS. Our sense of Snow: the myth of John Snow in medical geography. Soc Sci Med. 2000;50:923–35.
  8. Koch T. 1831: The map that launched the idea of global health. Int J Epidemiol. 2014;43:1014–20.
  9. Brigham A. A treatise on epidemic cholera. including an historical account of its origin and progress, to the present period: compiled from the most authentic sources . Hartford, CT: H and F J Huntington; 1832.
  10. WHO. Origin and development of health cooperation. http://www.who.int/global_health_histories/background/en/external icon
  11. WHO. International Health Regulations (2005). 3rd ed. Geneva, Switzerland: WHO; 2016. p. 84. http://www.who.int/ihr/publications/9789241580496/en/external icon
  12. Heymann DL. The international response to the outbreak of SARS in 2003. Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci. 2004;359:1127–9.
  13. Centers for Disease Control and Prevention. CDC’s response to the 2014–2016 Ebola epidemic—West Africa and United States. MMWR Suppl. 2016;65(Suppl 3):1–112.
  14. Woodall J. WHO reform: bring back GOARN and Task Force “Scorpio.” Infect Ecol Epidemiol. 2016;6:30237.
  15. WHO. Global Outbreak Alert and Response Network (GOARN). http://www.who.int/ihr/alert_and_response/outbreak-network/en/external icon
  16. WHO. 2015 WHO Strategic Response Plan, West Africa Ebola outbreak. http://www.who.int/csr/resources/publications/ebola/ebola-strategic-plan/en/external icon
  17. United Nations. Strengthening the coordination of humanitarian emergency assistance of the United Nations. Resolution 46/182. http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=A/RES/46/182external icon
  18. WHO. Laboratory networks. http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/laboratory/en/external icon
  19. European Centre for Disease Prevention and Control. EUVAC.Net. http://ecdc.europa.eu/en/healthtopics/vaccine-preventable-diseases/euvac/Pages/index.aspxexternal icon
  20. Fry AM, Hancock K, Patel M, dkk. The first cases of 2009 pandemic influenza A (H1N1) virus infection in the United States: a serologic investigation demonstrating early transmission. Influenza Other Respi Viruses. 2012;6:e48–53.
  21. Swaminathan B, Barrett TJ, Hunter SB, Tauxe R V. PulseNet: the molecular subtyping network for foodborne bacterial disease surveillance, United States. Emerg Infect Dis. 2001;7:382–9.
  22. Kirk MD, Little CL, Lem M, dkk. An outbreak due to peanuts in their shell caused by Salmonela enterica serotypes Stanley and Newport—sharing molecular information to solve international outbreaks. Epidemiol Infect . 2004;132:571–7.
  23. Shuaib F, Gunnala R, Musa EO, dkk. Ebola virus disease outbreak—Nigeria, July–September 2014. MMWR. 2014;63:849–54.




Address

Gedung D Lantai 3 - Ditjen P2P Kementerian Kesehatan RI
Jl. Percetakan Negara No.29, RT.23/RW.7, Johar Baru
Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10560

08111690148
2018 © All Rights Reserved by FETP Indonesia.