FETP Indonesia

Manual Epidemilogi Lapangan CDC

Manual Epidemilogi Lapangan CDC

Halaman ini adalah terjemahan dalam bahasa indonesia dari Epidemic Intelligence Service CDC

Lihat Versi Asli
Unduh Bab 11

Bab 11: Mengembangkan Intervensi

Katrina Hedberg dan Julie Maher

Semua karya ilmiah tidak lengkap—entah itu observasional atau eksperimental. Semua karya ilmiah dapat diubah atau dimodifikasi dengan kemajuan pengetahuan. Ini tidak memberi kita kebebasan untuk mengabaikan pengetahuan yang sudah kita miliki, atau menunda tindakan yang tampaknya perlu dilakukan pada waktu tertentu.

— Sir Austin Bradford Hill, Ahli Epidemiologi Inggris (1897–1991) (1)

PRINSIP PANDUAN UNTUK INTERVENSI

Petugas kesehatan-masyarakat yang memiliki tanggung jawab dan wewenang hukum untuk membuat keputusan tentang intervensi harus mempertimbangkan prinsip-prinsip kunci berikut: memilih intervensi yang tepat, memfasilitasi pelaksanaan intervensi, dan menilai efektivitas intervensi (Kotak 11.1).

KOTAK 11.1
PRINSIP PANDUAN UNTUK INTERVENSI YANG DIGUNAKAN SELAMA INVESTIGASI LAPANGAN EPIDEMIOLOGIS MASALAH KESEHATAN-MASYARAKAT AKUT
  • Segera setelah masalah kesehatan-masyarakat yang akut terdeteksi, tanggung jawab kesehatan-masyarakat dan harapan masyarakat muncul terkait keinginan agar tindakan penanganan dilakukan sesegera mungkin untuk meminimalkan morbiditas dan mortalitas yang dapat dicegah.
  • Intervensi kesehatan-masyarakat harus berdasarkan fakta dan data ilmiah yang ada, temuan investigasi terkini, dan pengetahuan dari investigasi dan studi sebelumnya. Meskipun kekuatan sosial politik yang menonjol (misalnya, ketakutan publik atau protes politik) dapat menciptakan tekanan untuk intervensi kesehatan-masyarakat yang cepat, intervensi harus didasarkan pada bukti. Namun, mengadaptasi komponen intervensi tertentu mungkin diperlukan untuk membuatnya lebih dapat diterima dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat yang terkena dampak, orang yang berpotensi terkena dampak, pejabat terpilih, dan media.
  • Untuk masalah apa pun, jenis dan jumlah intervensi yang akan diterapkan akan bervariasi, tergantung pada sifat masalah akut, termasuk penyebabnya, cara penyebaran, dan faktor lainnya.
  • Jenis dan jumlah intervensi yang digunakan mungkin berkembang sebagai fungsi dari keuntungan tambahan dalam informasi yang dikembangkan selama investigasi.
  • Sebagian besar intervensi kesehatan-masyarakat menuntut—dan bahkan mungkin diperkuat oleh—komunikasi dua arah yang terbuka antara lembaga pemerintah yang terlibat dan masyarakat.

DETERMINAN DALAM PENERAPAN INTERVENSI

Ahli epidemiologi lapangan harus mempertimbangkan beberapa determinan penting selama proses pengambilan keputusan tentang apakah ada dasar ilmiah yang rasional untuk menggunakan intervensi dan ketika memilih satu atau lebih intervensi spesifik yang optimal dan cocok dengan masalah kesehatan-masyarakat. Determinan-determinan tersebut yang mungkin saling terkait dan tidak berdiri sendiri, mencakup serangkaian faktor (misalnya, pengetahuan spesifik tentang agen etiologi penyebab dan reservoir atau cara penularan) dan pengenalan determinan kausal lainya sebagaimana tercermin, sebagian, dengan menilai kemampuan investigasi untuk mengatasi kriteria penyebab (lihat bagian berikut). Bagian ini membahas tiga penentu utama yang saling terkait: tingkat keparahan masalah, tingkat kepastian faktor kunci epidemiologis, dan kriteria penyebab. Selain itu, bab ini juga mempertimbangkan konteks sosial politik dan kemungkinan perannya dalam menentukan intervensi.

Keparahan Masalah

Tingkat keparahan masalah merupakan penentu utama dari urgensi dan jalannya investigasi lapangan dan intervensi awal. Semakin besar tingkat keparahannya, semakin cepat intervensi kesehatan-masyarakat diharapkan untuk dilakukan. Penentu utama keparahan adalah konsekuensi dari kejadian dan kemungkinan terjadinya kejadian. Konsekuensi yang perlu dipertimbangkan termasuk gejala dan sindrom yang paling umum, durasi penyakit, komplikasi termasuk rawat inap dan tingkat fatalitas kasus, kebutuhan untuk pengobatan, dan dampak ekonomi. Konsekuensinya, bahkan bisa lebih penting dari kemungkinan terjadi, cenderung mendorong persepsi tentang pentingnya intervensi.

Salah satu contohnya adalah botulisme, yang merupakan kejadian dengan probabilitas rendah tetapi konsekuensi tinggi. Hampir semua kasus AS memicu investigasi epidemiologis yang ekstensif karena harus mengidentifikasi sumber makanan atau minuman, mencegah keracunan tambahan, serta mengidentifikasi orang yang ter-expose atau sakit memungkinkan pemberian antitoksin yang menyelamatkan jiwa. Demikian pula, kelompok infeksi terkait perawatan kesehatan, terutama di antara pasien pascaoperasi atau pasien dengan gangguan kekebalan, sering diselidiki karena potensi komplikasi serius dan rawat inap yang sangat lama, kemungkinan penyakit iatrogenik sebagai kejadian medis yang dapat dihindari, dan kebutuhan segera untuk menyelesaikan pertanyaan tentang keamanan melanjutkan penerimaan pasien ke rumah sakit (2).

Tingkat Kepastian Tentang Agen, Sumber, dan Cara Penyebaran

Selain keparahan, rangkaian faktor-faktor lain mempengaruhi agresivitas, luas, dan ketelitian ilmiah dari investigasi lapangan epidemiologis. Dalam investigasi prototipik, langkah-langkah pengendalian dirumuskan setelah langkah-langkah lain telah dilaksanakan (lihat Bab 3). Namun, dalam praktiknya, tindakan pengendalian bisa dilakukan atau diperlukan pada setiap urutan langkah dalam investigasi. Untuk sebagian besar KLB penyakit akut, ruang lingkup investigasi ditentukan oleh kepastian tentang: (1) etiologi masalah (misalnya, patogen spesifik atau bahan beracun) dan (2) sumber atau cara penyebaran (misalnya , ditularkan melalui air, udara, atau vektor) (3). Ketika masalah diidentifikasi, kepastian tentang etiologi, sumber, dan cara penyebaran dapat berkisar dari yang diketahui hingga yang tidak diketahui (Gambar 11.1). Kedua dikotomi dasar ini diilustrasikan pada Gambar 11.1 dengan empat contoh yang mewakili kedua hal ekstrem tersebut. Dalam situasi tertentu, tindakan pengendalian mengikuti kebijakan atau pedoman praktik; pada situasi lain, intervensi yang sesuai hanya bisa dilakukan setelah investigasi epidemiologi lengkap. Langkah-langkah pengendalian awal sering kali dapat dimulai berdasarkan informasi awal yang terbatas dan kemudian dimodifikasi saat investigasi berlanjut.

Sebagai contoh, dugaan KLB norovirus yang terkait dengan restoran atau tempat penyiapan makanan mungkin memerlukan rangkaian intervensi, termasuk:

  • Pekerja layanan makanan yang memilik gejala muntah atau diare segera dibebaskan dari tugas;
  • Menutup sementara restoran;
  • Mengganti semua bahan makanan;
  • Sanitasi semua permukaan dan peralatan;
  • Memantau praktik penanganan makanan sampai informasi yang lebih spesifik dari investigasi epidemiologis tersedia;
  • Mendidik penjamah makanan tentang pengendalian norovirus; dan
  • Memberikan pelatihan dan edukasi tentang peraturan kesehatan kepada pemilik restoran (4).

Dalam situasi seperti ini, respons akan didasarkan pada pengetahuan tentang kemungkinan sumber norovirus atau patogen enterik lainnya yang berkelanjutan, exposure di restoran, dan penghapusan sumber tersebut. Meskipun respons yang cepat dan tepat seperti ini dapat mengatasi kemungkinan transmisi berlanjut berdasarkan fakta dan pengalaman spesifik yang diketahui mengenai agen penyebab, ahli epidemiologi sering kali perlu memperluas investigasi tergantung pada keadaan dan kebutuhan (misalnya, ketika ada indikasi untuk dilakukan pelacakan balik guna mengidentifikasi sumber utama berkelanjutan untuk KLB terkait restoran, seperti kerang atau selada yang terkontaminasi sebelum dipanen) (5).

x
Gambar 11.1

Penekanan relatif dari upaya investigasi dan pengendalian (opsi intervensi) dalam KLB penyakit dipengaruhi oleh keyakinan tentang etiologi dan sumber atau cara penularan.
Investigasi berarti luasnya investigasi; pengendalian merujuk pada dasar implementasi tindakan pengendalian atau intervensi yang cepat pada saat masalah pertama kali diidentifikasi. Tanda plus menunjukkan tingkat respons yang ditunjukkan, mulai dari + (rendah) hingga +++ (tinggi).

Gambar 11.1

Umumnya sering kali terdapat ketidakpastian mengenai etiologi atau sumber  penyakit dan cara penyebarannya (Gambar 11.1). Dalam sebagian besar KLB penyakit gastrointestinal, pemilihan tindakan pengendalian bergantung pada pengetahuan apakah penularan terjadi dari orang ke orang, melalui makanan, atau penyebaran melalui air. Jika penyebaran melalui makanan atau air, perlu diidentifikasi sumbernya.

Misalnya, KLB Salmonela enterica serovar Typhimurium di beberapa negara bagian selama tahun 2008 memerlukan investigasi lapangan epidemiologis dengan berbagai pendekatan yang luas dan studi analitik (kasus-kontrol) sebelum selai kacang dan produk yang mengandung selai kacang—diidentifikasi sebagai perantara penularan (6). Situasi sebaliknya, yang melibatkan sumber yang dicurigai tetapi tidak diketahui etiologinya, diilustrasikan oleh KLB nasional sindrom mialgia eosinofilia di Amerika Serikat pada tahun 1989 (7,8). Selama KLB itu, L-triptofan, suplemen makanan tanpa resep, awalnya dicurigai sebagai sumber exposure, dan kontaminan dalam merek tertentu akhirnya dicurigai setelah dilakukan analisis laboratorium. Untuk sementara, ahli epidemiologi mengeluarkan rekomendasi untuk mencegah exposure dan kasus lebih lanjut. Akhirnya, seperti yang diilustrasikan pada KLB penyakit Legionairre pada tahun 1976, investigasi lapangan yang ekstensif bisa gagal mengidentifikasi penyebab, sumber, dan cara penyebaran tepat waktu untuk mengendalikan masalah akut tetapi masih dapat berperan dalam kemajuan pengetahuan yang pada akhirnya mengarah pada tindakan pencegahan (9).

Penyebab dan Investigasi Lapangan

Dalam artikelnya yang sangat penting  tentang kriteria untuk menilai hubungan kausal dalam epidemiologi, Austin Bradford Hill menyimpulkan dengan seruan agar tindakan didasarkan pada penilaian kekuatan bukti epidemiologis dibandingkan dengan keparahan akibat konsekuensi menunda tindakan dan mengambil tindakan prematur (1).

Kekhawatiran yang sama ini biasanya dihadapi para ahli epidemiologi selama investigasi lapangan. Kriteria yang ditentukan oleh Hill, yaitu temporalitas, kekuatan asosiasi, gradien biologis, konsistensi, plausibility, koherensi, eksperimen, dan analogi, menyediakan kerangka kerja yang berguna untuk menilai kekuatan bukti epidemiologi yang dikembangkan selama investigasi lapangan. Menilai kausalitas pada setiap langkah dalam suatu investigasi adalah penting tidak hanya untuk menilai kekuatan bukti yang telah dikembangkan hingga saat itu, tetapi juga membantu mengidentifikasi bukti yang belum ada atau memerlukan perhatian lebih lanjut dan merencanakan pendekatan tambahan (misalnya, pengumpulan dan analisis data)  yang penting untuk mendukung keputusan mengenai intervensi.

Kriteria seperti kekuatan asosiasi, dosis-respons, dan temporalitas dapat meningkatkan kepercayaan diri dalam memulai tindakan. Selain itu, pada setiap langkah dalam investigasi, bukti yang memenuhi kriteria tertentu mungkin tidak tersedia. Meskipun demikian, investigator lapangan harus mencoba mengumpulkan data untuk menguji kausalitas dengan menggunakan kriteria sebanyak mungkin. Meskipun satu kriteria saja mungkin tidak meyakinkan dalam konteks tertentu atau diterima sepenuhnya berdasarkan sudut pandang penafsir, kombinasi kriteria yang dinilai dengan baik yang mengarah ke exposure umum dapat memperkuat keyakinan dan memfasilitasi dukungan untuk intervensi yang terarah.

Epidemiologi, khususnya epidemiologi lapangan, adalah disiplin ilmu ilmiah yang relatif muda di dunia medis, yang diterima secara akademis dan kemudian publik  secara bertahap selama lima hingga enam dekade terakhir. Di sektor-sektor tertentu, misalnya, profesi hukum, perusahaan swasta, dan bahkan badan regulator, penerimaan kesimpulan epidemiologi lebih lambat terjadi. Hal ini sebagian disebabkan karena sifat kausalitas dalam epidemiologi, yaitu bukti epidemiologi menentukan asosiasi, bukan merupakan bukti yang kuat dan tak terbantahkan. Sementara itu, bukti epidemiologi sering kali menjadi dasar utama untuk menentukan agen penyebab atau cara penyebaran tersedia setelah hasil investigasi ilmiah yang lebih mendalam dan lebih panjang untuk mendukung pengambilan keputusan akan intervensi yang harus dilakukan. Selain itu, dan sayangnya, bukti epidemiologis yang mengharuskan ahli epidemiologi untuk mengambil tindakan segera, mungkin tidak mudah meyakinkan orang lain yang kerja samanya diperlukan untuk memulai tindakan. Misalnya, setelah penelitian lapangan dengan jelas menunjukkan bahwa penggunaan aspirin sebagai faktor risiko sindrom Reye (10) dibutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum industri dan Food and Drug Administration menerimanya dan mengeluarkan peringatan tentang efek tersebut. Kisah sindrom syok toksik lebih lanjut menggambarkan keengganan beberapa orang untuk menerima bukti epidemiologi dalam menghadapi masalah kesehatan-masyarakat yang akut dalam skala epidemi nasional (11). Contoh-contoh ini menggarisbawahi tantangan praktis dalam menyeimbangkan kebutuhan untuk menilai kausalitas melalui proses investigasi ilmiah dengan kebutuhan yang berpotensi bertentangan untuk campur tangan dengan cepat untuk melindungi kesehatan dari masyarakat.

Selama KLB apa pun, beberapa kelompok orang mungkin ter-expose, terpengaruh, atau terlibat dalam beberapa hal. Karena perbedaan dalam pengetahuan, keyakinan, dan dampak yang dirasakan dari KLB, setiap kelompok mungkin menarik kesimpulan yang berbeda tentang kausalitas dari informasi yang sama. Misalnya, dalam suatu kejadian penyebaran penyakit bawaan pangan di restoran, pelanggan restoran, publik, pemilik dan manajemen, media, pengacara, dan petugas kesehatan-masyarakat masing-masing cenderung memiliki ambang batas yang berbeda dalam menilai tingkat hubungan antara makan makanan dari restoran tersebut dengan penyakit. Dalam situasi ini, perhatian ahli epidemiologi lapangan mungkin terutama fokus pada kriteria kekuatan asosiasi dan efek dosis-respons antara exposure terhadap makanan tertentu dan penyakit, sedangkan perhatian utama pelanggan restoran adalah kewajaran (plausibility). Sebaliknya, pengacara yang mewakili pelanggan-penggugat yang diduga menderita penyakit sebagai akibat dari exposure restoran atau yang membela restoran yang secara epidemiologis terkait dengan epidemi penyakit bawaan pangan—akan menghadapi masalah seperti ini dengan menggunakan kerangka hukum untuk sebab-akibat, yang berbeda dengan hubungan sebab-akibat secara epidemiologis (12). Dalam kasus perdata, pengacara penggugat khususnya harus memenuhi standar pembuktian yang lebih besar, yang berarti bahwa pencari fakta (yaitu, hakim atau juri) harus percaya bahwa kejadian versi penggugat lebih mungkin teradi agar pihak penggugat menang (13); standar ini juga dapat telah dianalogikan dengan probabilitas 0,51 atau lebih besar (14).

Konteks Sosial Politik

Investigasi lapangan sering kali menjadi sorotan publik, baik disengaja maupun tidak. Ketika suatu masalah dianggap parah (misalnya, telah terjadi kematian) dan mungkin sedang berlangsung, publik mungkin menuntut informasi dan tindakan. Selain itu ketika minat kuat di kalangan politisi, termasuk pemimpin eksekutif daerah (misalnya, gubernur dan wali kota), para pemimpin tersebut mungkin ingin tampil dan menunjukkan minat mereka dalam melindungi publik. Misalnya, kematian seorang anak sekolah karena meningitis dapat menyebabkan tekanan politik untuk menutup sekolah. Kematian seorang pasien rumah sakit akibat penyakit Legionairre dapat menyebabkan tekanan politik untuk mempertimbangkan penutupan rumah sakit.

Sebagai bagian dari pertimbangan tentang kapan dan bagaimana melakukan intervensi, komunikasi yang efektif dan berkelanjutan dengan semua entitas terkait sangat penting. Entitas ini perlu menyadari kemungkinan, risiko yang sedang berlangsung (jika ada), dan cara terbaik untuk mengatasinya mengingat tingkat informasi yang tersedia. Komponen penting dari setiap intervensi adalah komunikasi yang efektif dengan para pemimpin politik dan publik. Komunikasi tersebut akan membantu dalam memungkinkan penggunaan faktor ilmiah sebagai penentu untuk memilih intervensi untuk melindungi masyarakat terhadap penyakit dan harus membantu meminimalkan potensi intervensi yang tidak perlu, mahal, dan menyesatkan. Meskipun demikian, perspektif berbasis bukti mungkin bukan satu-satunya yang akhirnya dipertimbangkan dalam pilihan intervensi. Selama epidemi penyakit virus Ebola 2014–2015 di beberapa bagian Afrika Barat, banyak wilayah administratif AS, sering kali karena alasan politik, menerapkan karantina yang ketat dan pemantauan kesehatan bagi orang-orang yang telah melakukan perjalanan ke negara yang terkena dampak meskipun orang-orang ini tidak memiliki riwayat exposure kepada siapa pun dengan infeksi virus Ebola (15).

OPSI INTERVENSI

Intervensi untuk mencegah dan mengendalikan masalah kesehatan-masyarakat, termasuk KLB penyakit menular dan penyakit tidak menular, cedera, dan kecacatan, dapat dilihat melalui skema klasifikasi yang berbeda. Contoh pendekatan ini meliputi:

  • Intervensi yang menargetkan aspek spesifik dari hubungan antara inang (host), lingkungan, dan agen penyebab penyakit atau cedera;
  • Pilihan pencegahan primer, sekunder, dan tersier; dan
  • Model pencegahan cedera Haddon, yang menjadi kunci strategi intervensi pada fase pra-kejadian, kejadian, dan pasca-kejadian (16-18).

Selain sifat spesifik dari agen etiologi, pembuat keputusan mungkin perlu mempertimbangkan faktor lain, termasuk:

  • Reservoir atau sumber agen;
  • Cara penyebaran atau penularannya;
  • Faktor risiko terkait Host;
  • Lingkungan dan faktor mediasi lainnya;
  • Bukti apriori efektivitas intervensi;
  • Kelayakan operasional dan logistik; dan
  • Kewenangan hukum yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tindakan tersebut.

Dalam bab ini, model yang digunakan untuk secara sistematis mengidentifikasi dan menggambarkan berbagai pilihan intervensi untuk KLB dan ancaman kesehatan akut lainnya berfokus pada dua dimensi biologis dan lingkungan dasar: (1) intervensi yang dapat diarahkan pada sumber yang paling menular dan agen penyebab penyakit lainnya dan (2) intervensi yang dapat diarahkan pada orang yang rentan terhadap agen tersebut (Kotak 11.2). Kategori pertama, yaitu intervensi yang diarahkan pada sumbernya, mencakup tindakan yang akan menghilangkan keberadaan agen penyebab penyakit sebagai faktor risiko bagi populasi yang rentan (misalnya, menyita dan menghancurkan makanan yang terkontaminasi atau melarang sementara orang yang terinfeksi menyiapkan atau menyajikan makanan). Kedua kategori mencakup beberapa opsi yang sama dan dengan demikian tidak sepenuhnya eksklusif satu sama lain. Misalnya, selama KLB infeksi virus Zika 2016–2017, laki-laki yang kembali dari perjalanan ke daerah epidemi disarankan untuk menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan ibu hamil atau berpotensi hamil dan rentan, serta untuk ibu hamil atau berpotensi hamil untuk menggunakan kondom dengan setiap pasangan laki-laki yang mungkin telah ter-expose virus untuk mengurangi risiko perempuan untuk ter-expose (19).

Selama epidemi penyakit virus Ebola pada 2014–2015, petugas kesehatan-masyarakat di Amerika Serikat menggunakan kombinasi tindakan intervensi yang diarahkan pada orang-orang di mana penyakit virus Ebola didiagnosis (isolasi), pada kontak dekat mereka (pemantauan aktif, karantina, atau pembatasan dalam perjalanan), bagi petugas yang memberikan perawatan kesehatan kepada mereka (pelatihan dalam penggunaan yang benar dari alat pelindung khusus dan pemantauan aktif), dan bagi mereka yang datang dari negara tertentu (penyaringan atau pemantauan aktif) (20).

 

Pemilihan dari langkah-langkah yang tercantum dalam Kotak 11.2 dan alternatif lain dapat dipertimbangkan pada setiap tahap investigasi lapangan. Selama tahap awal, intervensi berdasarkan pedoman yang ditetapkan untuk pengendalian penyakit dapat diterapkan. Misalnya, seperti yang ditunjukkan sebelumnya dalam bab ini, mengecualikan pekerja yang bergejala dan menghilangkan semua kemungkinan sumber patogen enterik yang ada seperti norovirus dari fasilitas persiapan makanan dapat dilakukan terlepas dari sumber KLB yang sebenarnya (4). Jika, pada titik berikutnya, sifat risiko infeksi didefinisikan lebih tajam, maka tindakan korektif tambahan yang disesuaikan dapat diarahkan pada sumber dan/atau cara penyebaran

KOTAK 11.2
OPSI INTERVENSI KESEHATAN-MASYARAKAT TERPILIH UNTUK KLB DAN ANCAMAN KESEHATAN AKUT LAINNYA

Intervensi ini dikelompokkan menurut intervensi yang dapat diarahkan pada sumber yang paling menular dan agen penyebab penyakit lainnya dan intervensi yang dapat diarahkan pada orang yang rentan terhadap agen tersebut.

INTERVENSI YANG DITUJUKAN PADA SUMBERNYA

  • Rawat orang dan hewan yang terinfeksi atau terkena dampak.
  • Isolasi orang yang terinfeksi, termasuk cohorting, jika diperlukan.
  • Gunakan penghalang (misalnya, masker wajah, kondom).
  • Pantau orang yang ter-expose untuk tanda-tanda penyakit.
  • Karantina tempat atau sumber yang terkontaminasi.
  • Terapkan cordon sanitaire, tutup tempat umum, dan cegah pertemuan untuk membekukan atau membatasi pergerakan dan meminimalkan kemungkinan percampuran kelompok berdasarkan status exposure atau infeksi.
  • Gunakan pelacakan kontak, pemberitahuan pasangan, dan perawatan.
  • Sita atau menghancurkan makanan, harta benda, hewan, atau sumber lain yang terkontaminasi.
  • Bersihkan dan disinfeksi permukaan yang terkontaminasi dan tempat penyimpanan lingkungan lainnya.
  • Modifikasi lingkungan yang terkena dampak melalui pengendalian vektor.
  • Ubah lingkungan yang terkena dampak dengan membatasi atau mengendalikan obat-obatan atau kontaminan berbahaya.
  • Ubah perilaku untuk mengurangi risiko terhadap diri sendiri atau orang lain.
  • Cegah melalui gugatan perdata atau penuntutan pidana.

INTERVENSI YANG DITUJUKAN PADA ORANG ATAU HEWAN YANG RENTAN

  • Berikan profilaksis pasca
  • Imunisasi atau vaksinasi terlebih dahulu.
  • Pisahkan orang yang tidak divaksinasi dari kelompok orang yang divaksinasi.
  • Gunakan metode penghalang (misalnya, masker wajah, kondom).
  • Terapkan cordon sanitaire, tutup tempat umum, dan cegah pertemuan untuk membekukan atau membatasi pergerakan dan meminimalkan kemungkinan percampuran kelompok berdasarkan status exposure atau infeksi.
  • Ubah perilaku untuk mengurangi risiko terhadap diri sendiri atau orang lain.
  • Gunakan shelter-in-place (yaitu, karantina terbalik).
  • Keluarkan siaran pers, peringatan kesehatan, dan informasi lain tentang pengurangan risiko.

TANTANGAN DAN PENDEKATAN YANG BERKEMBANG DALAM INTERVENSI

Meskipun bab ini telah mengeksplorasi landasan berbasis ilmu pengetahuan untuk mengidentifikasi, memilih, dan menerapkan intervensi kesehatan-masyarakat, investigator lapangan juga harus bersaing dengan berbagai kekhawatiran baru dan berkembang yang menantang pengambilan keputusan tentang intervensi. Bagian ini secara singkat membahas tiga masalah tersebut.

  1. Dilema yang dihadapi petugas kesehatan-masyarakat dalam memilih dan menerapkan intervensi ketika ketersediaan informasi berbasis ilmiah mengenai kesesuaian atau efektifitasnya sangat terbatas. Untuk penyakit menular tertentu dan masalah kesehatan-masyarakat lainnya, upaya terbaru untuk merencanakan pemilihan dan penggunaan intervensi yang berbeda telah menghadapi kontroversi atau tantangan karena keterbatasan dalam ketersediaan informasi ilmiah tentang manfaatnya dibandingkan konsekuensi sosialnya. Misalnya, selama pembahasan tentang tindakan apa yang mungkin paling efektif untuk menanggapi pandemi influenza A(H5N1), banyak orang mempertanyakan apakah ada bukti ilmiah yang cukup untuk mendukung penggunaan tindakan social distancing yang dipandang sangat ketat dan berlebihan (draconian) (21).
  2. Sangat penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat yang terkena dampak tentang sifat masalah kesehatan-masyarakat dan alasan dibalik intervensi yang direkomendasikan. Kecenderungan yang berpengaruh dalam pemilihan dan pelaksanaan intervensi adalah meningkatnya peran keterlibatan masyarakat. Misalnya, selama beberapa dekade terakhir, lembaga kesehatan-masyarakat harus secara inovatif memodifikasi tanggapan mereka terhadap masalah seperti KLB tuberkulosis yang resistan terhadap banyak obat, kelompok kasus infeksi virus human immunodeficiency, penyakit menular seksual yang muncul kembali dan resistan antibiotik, dan penyakit meningokokus di kalangan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (22-25). Untuk beberapa masalah kesehatan-masyarakat, metode yang sering digunakan sebelumnya untuk investigasi dan evaluasi kontak telah digantikan oleh pendekatan jaringan sosial yang lebih baru, yaitu intervensi yang memerlukan peningkatan keterlibatan perwakilan masyarakat atau komunitas. Dalam pengaturan seperti itu, dukungan masyarakat atau komunitas sangat penting untuk keberhasilan investigasi dan tindakan pencegahan dan pengendalian jangka panjang; sebaliknya, kegagalan untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat dapat melumpuhkan atau membatasi dampak investigasi. Hal ini terutama benar ketika masalah secara tidak proporsional mempengaruhi kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan yang pada awalnya mungkin enggan bekerja dengan petugas kesehatan-masyarakat. Kebutuhan untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat juga berimplikasi pada peran penting komunikasi kesehatan dan risiko, serta pentingnya menjelaskan kepada masyarakat baik alasan dan potensi keterbatasan intervensi (misalnya, mengapa intervensi mungkin tidak berhasil atau 100% efektif). Perwakilan masyarakat atau komunitas juga dapat membantu menyebarkan informasi kepada orang-orang yang paling berisiko melalui blog, media sosial, aplikasi ponsel, atau saluran komunikasi nontradisional lainnya. Meningkatnya peran keterlibatan masyarakat dalam dan dukungan untuk intervensi kesehatan-masyarakat berlaku tidak hanya untuk penyakit menular tetapi juga untuk mencegah dan mengendalikan bahaya lingkungan, termasuk penyalahgunaan zat, cedera, dan masalah penyakit tidak menular lainnya.
  3. Pengambilan keputusan yang sering kali rumit tentang kapan harus menghentikan intervensi akut atau bagaimana melembagakan atau mempertahankannya untuk jangka waktu yang lebih lama. Tantangan terakhir ini mencakup kebutuhan untuk menilai efektivitas setiap intervensi dan membuat keputusan tentang apakah dan kapan harus menghentikan atau mempertahankannya. Sedini mungkin, data yang dihasilkan oleh investigasi epidemiologi harus digunakan untuk menilai efektivitas setiap intervensi. Informasi tersebut juga memandu pengambilan keputusan mengenai modifikasi atau penghentian intervensi yang sudah dilaksanakan dan pemilihan serta penggunaan tindakan tambahan atau baru. Keputusan untuk menghentikan intervensi jangka panjang atau permanen dapat dibuat dalam situasi di mana risiko kesehatan-masyarakat tidak dapat dihilangkan dan tetap menjadi ancaman yang berkelanjutan (misalnya, larangan penggunaan cat berbasis timbal atau mempertahankan rekomendasi untuk memvaksinasi laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki terhadap penyakit meningokokus setelah KLB berakhir karena risiko yang lebih tinggi berkelanjutan [ 25]).

KESIMPULAN

Investigasi lapangan epidemiologis biasanya dimulai sebagai respons terhadap epidemi atau terjadinya penyakit akut lainnya, cedera, atau masalah kesehatan lingkungan. Dalam keadaan seperti itu, tujuan utama dari investigasi lapangan adalah untuk menggunakan prinsip-prinsip ilmiah epidemiologi untuk menentukan respons yang rasional dan tepat untuk mengakhiri atau mengendalikan masalah. Faktor kunci yang mempengaruhi keputusan tentang waktu dan pilihan intervensi kesehatan-masyarakat termasuk keseimbangan yang dibuat dengan hati-hati diantara:

  • Keparahan masalah,
  • Tingkat kepastian ilmiah dari temuan,
  • Sejauh mana kriteria kausal telah ditetapkan,
  • Kelayakan operasional dan logistik intervensi,
  • Persepsi publik dan politik tentang tindakan yang terbaik, dan
  • Pertimbangan hukum.

Bab ini telah memeriksa faktor-faktor penting yang harus dipertimbangkan oleh ahli epidemiologi dan petugas kesehatan-masyarakat lainnya ketika membuat keputusan tentang memilih dan menerapkan intervensi kesehatan-masyarakat selama investigasi lapangan epidemiologi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, tindakan berikut harus dipertimbangkan kembali pada setiap tahap perkembangan investigasi lapangan:

  • Tentukan ruang lingkup masalah kesehatan-masyarakat dengan informasi yang tersedia dengan menilai:
    • Tingkat keparahan penyakit, cedera, atau bahaya lingkungan;
    • Sifat agen etiologi yang dicurigai;
    • Jumlah orang yang mungkin rentan dan sejauh mana mereka ter-expose; dan
    • Kemungkinan penyebab KLB.
  • Tentukan intervensi yang bisa ditawarkan untuk mengatasi kemungkinan KLB mungkin masih akan berlangsung exposure potensial yang memiliki potensi berkelanjutan. Pertimbangkan intervensi empiris yang dapat digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko berkelanjutan suatu exposure atau penyakit.
  • Untuk setiap intervensi potensial, pertimbangkan biaya dan manfaat penerapan intervensi pada tahap investigasi tersebut jika tidak ada informasi tambahan.
  • Menerapkan semua intervensi empiris yang masuk akal.
  • Komunikasikan alasan untuk menerapkan atau tidak menerapkan intervensi pada titik mana pun kepada orang-orang dalam komunitas yang telah ter-expose atau terpengaruh, serta orang lain yang mungkin perlu mengetahuinya.
  • Terus menilai efektivitas dan memodifikasi intervensi sebagai informasi investigasi baru tersedia.

Kepatuhan terhadap ini dan langkah-langkah lain selama investigasi lapangan epidemiologi dapat menjadi bagian terintegrasi untuk membantu mencapai dan mengoptimalkan dasar rasional ilmiah untuk memilih dan menerapkan intervensi kesehatan-masyarakat untuk mengendalikan atau mengakhiri masalah.

CATATAN

Bagian-bagian dari bab ini sebagaimana tergabung dalam edisi-edisi sebelumnya dari buku ini diadaptasi dari Goodman RA, Buehler JW, Koplan JP. The epidemiologic field investigation: science and judgment in public health practice. Am J Epidemiol. 1990;132:91–96

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami berterima kasih kepada James W. Buehler dan Jeffrey P. Koplan, yang karyanya pada Bab 9, “Mengembangkan Intervensi,” dalam edisi pertama dan kedua dari manual ini berkontribusi pada bab ini.

REFERENSI

  1. Hill AB. The environment and disease: association or causation? Proc R Soc Med.1965;58:295–300.
  2. Gaynes R, Richards C, Edwards J, dkk. Feeding back surveillance data to prevent hospital-acquired infections. Emerg Infect Dis. 2001;7:295–8.
  3. Goodman RA, Buehler JW, Koplan JP. The epidemiologic field investigation: science and judgment in public health practice. Am J Epidemiol. 1990;132:91–6.
  4. Centers for Disease Control and Prevention. Vital signs: foodborne norovirus outbreaks—United States, 2009–2012. MMWR. 2014;63:491–5.
  5. Dowell SF, Groves C, Kirkland KB, dkk. A multistate outbreak of oyster-associated gastroenteritis: implications for interstate tracing of contaminated shellfish. J Infect Dis. 1995;171:1497–503.
  6. Centers for Disease Control and Prevention. Multistate outbreak of Salmonela infections associated with peanut butter and peanut butter– containing products—United States, 2008–2009. MMWR. 2009;58:85–90.
  7. Centers for Disease Control and Prevention. Eosinophilia-myalgia syndrome—New Mexico. MMWR. 1989;38:765–7.
  8. Centers for Disease Control and Prevention. Eosinophilia-myalgia syndrome and L-tryptophan-containing products—New Mexico, Minnesota, Oregon, and New York, 1989. MMWR. 1989;38:785–8.
  9. Fraser DW, Tsai TR, Orenstein W, dkk. Legionnaires’ disease: description of an epidemic of pneumonia. N Engl J Med. 1977;297:1189–97.
  10. Hurwitz ES, Schonberger LB. Reye syndrome—Ohio, Michigan. MMWR. 1997;46:750–5.
  11. Osterholm MT, Davis JP, Gibson RW, dkk. Tri-state toxic-shock syndrome study. I. Epidemiologic findings. J Infect Dis. 1982;145:431–40.
  12. Goodman RA, Loue S, Shaw FE. Law in epidemiology. In: Bownson R, Petiti D, eds. Applied epidemiology. 2nd ed. New York: Oxford University Press; 2006:289–326.
  13. Freer RD, Perdue WC, eds. Civil procedure: cases, materials, and questions. 2nd ed. Cincinnati, OH: Anderson Publishing Co.; 1997.
  14. Lazzarini Z, Goodman RA, Dammers K. Criminal law and public health practice. In: Goodman RA, Hoffman RE, Lopez W, Matthews GW, Rothstein MA, Foster KL, eds. Law in public health practice. 2nd ed. New York: Oxford University Press; 2007:136–67.
  15. American Civil Liberties Union and Yale Global Health Justice Partnership. Fear, politics, and Ebola: how quarantines hurt the fight against Ebola and violate the Constitution. https://www.law.yale.edu/system/files/documents/pdf/Intellectual_Life/aclu_yale_ghjp_-_fear_politics_and_ebola-december_2015.pdfpdf iconexternal icon
  16. Wenzel RP. Overview: control of communicable diseases. In: Wallace RB, Kohatsu N, Brownson R, Schecter AJ, Scutchfield FD, eds. Maxcy-Rosenau-Last public health & preventive medicine. 15th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2008:77– 100.
  17. Kim-Farley RJ. Global strategies for control of communicable diseases. In: Detels R, McEwen J, Beaglehole R, Tanaka H, eds. Oxford textbook of public health. 4th ed. New York: Oxford University Press; 2002:839–59.
  18. Olsen J. Disease prevention and control of non-communicable diseases. In: Detels R, McEwen J, Beaglehole R, Tanaka H, eds. Oxford textbook of public health. 4th ed. New York: Oxford University Press; 2002:1811–22.
  19. Oster AM, Russell K, Stryker JE, dkk. Update: interim guidance for prevention of sexual transmission of Zika virus—United States, 2016. MMWR. 2016;65:323–5.
  20. Centers for Disease Control and Prevention. Interim U.S. guidance for monitoring and movement of persons with potential Ebola virus exposure. http://www.cdc.gov/vhf/ebola/exposure/monitoring-and-movement-of-persons-with-exposure.html
  21. Ferguson NM, Cummings DAT, Fraser C, Cajka JC, Cooley PC, Burke DS. Strategies for mitigating an influenza pandemic. Nature. 2006;442:448–52.
  22. Centers for Disease Control and Prevention. Outbreak of syphilis among men who have sex with men—southern California, 2000. MMWR. 2001;50:117–20.
  23. Centers for Disease Control and Prevention. HIV-related tuberculosis in a transgender network—Baltimore, Maryland, and New York City area, 1998–2000. MMWR. 2000;49:317–20.
  24. Conrad C, Bradley HM, Boiz D, dkk. Community outbreak of HIV infection linked to injection drug use of oxymorphone—Indiana, 2015. MMWR. 2015;64:443–4.
  25. Kratz MM, Weiss D, Ridpath A, dkk. Community-based outbreak of Neisseria meningitidis serogroup C infection in men who have sex with men, New York City, New York, USA, 2010–2013. Emerg Infect Dis. 2015;21:1379–86.




Alamat

Gedung D Lantai 3 - Ditjen P2P Kementerian Kesehatan RI
Jl. Percetakan Negara No.29, RT.23/RW.7, Johar Baru
Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10560

08111690148
2018 © FETP Indonesia. Hak Cipta dilindungi Undang - Undang.