FETP Indonesia

Manual Epidemilogi Lapangan CDC

Manual Epidemilogi Lapangan CDC

Halaman ini adalah terjemahan dalam bahasa indonesia dari Epidemic Intelligence Service CDC

Lihat Versi Asli
Unduh Bab 7

Bab 7: Merancang dan Melakukan Studi Analitik di Lapangan

Brendan R. Jackson Dan Patricia M. Griffin

PENDAHULUAN

Studi analitik merupakan komponen kunci investigasi lapangan. Namun,waspadalah terhadap dorongan untuk memulainya terlalu cepat. Studi dapat memakan waktu dan membutuhkan sumber daya yang cukup besar, dan studi yang dibangun dengan tergesa-gesa mungkin tidak dapat menjawab pertanyaan yang benar. Misalnya, dalam investigasi KLB penyakit bawaan pangan jika makanan penyebab tidak ada dalam kuesioner penelitian Anda, kemungkinan besar Anda tidak dapat menyalahkan makanan tersebut sebagai penyebab. Studi analitik biasanyadigunakan untuk menguji hipotesis, bukan membuat hipotesis. Namun, dalam situasi tertentu, mengumpulkan data pasien dan kelompok pembanding dengan cepat bisa merupakan salah satu cara untuk mengeksplorasi beberapa hipotesis. Di hampir semua situasi, membuat hipotesis sebelum merancang penelitian akan membantu Anda memperjelas tujuan penelitian dan mengajukan pertanyaan yang lebih baik.

MEMBUAT HIPOTESIS

Langkah-langkah awal dari suatu investigasi, yang dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, merupakan sumber terbaik untuk hipotesis Anda. Kegiatan utama meliputi hal-hal berikut ini:

  • Menjelaskan waktu, tempat, dan orang. Epidemiologi deskriptif (lihat Bab 6) dapat membantu dalam merumuskan Sebagai contoh:
    • Dengan memeriksa distribusi jenis kelamin pada orang-orang yang terkena KLB, petugas investigasi penyakit enterik AS mencurigai sayuran sebagai sumber ketika ditemukan kebanyakan pasien adalah perempuan. (Tentu saja, generalisasi tidak selalu benar!)
    • Dalam KLB bloodstream infection yang disebabkan oleh Serratia marcescens pada pasien yang menerima nutrisi parenteral (makanan yang diberikan melalui kateter intravena), para petugas investigasi mengalami kesulitan menemukan sumbernya sampai mereka mencatat bahwa tidak satu pun dari 19 kasus yang terjadi di antaranya adalah anak-anak. Investigasi lebih lanjut dilakukan terhadap nutrisi parenteral di rumah sakit tersebut yang diberikan kepada orang dewasa, tetapi tidak diberikan pada anak-anak, menunjukkan adanya larutan asam amino yang terkontaminasi sebagai sumbernya (1).
  • Fokus pada outlier. Berikan perhatian ekstra pada kasus paling awal dan yang terbaru pada kurva epidemi dan kepada orang-orang yang baru-baru ini mengunjungi lingkungan tempat KLB Wawancara dengan pasien ini dapat menghasilkan petunjuk penting (misalnya, dengan mengidentifikasi kasus indeks, kasus sekunder, atau daftar yang lebih ringkas dari exposure umum).
  • Tentukan sumber KLB serupa. Merujuk ke catatan di dinas kesehatan, kaji literatur, dan konsultasikan dengan ahli untuk mempelajari sumber-sumber sebelumnya. Ingatlah bahwa sumber-sumber baru sering muncul karena tren sosial, perilaku, dan komersial yang terus berubah.
  • Lakukan sejumlah kecil wawancara mendalam dan terbuka. Ketika sumber yang mungkin terkait tidak segera terlihat, melakukan wawancara mendalam (sering kali >1 jam) dan wawancara terbuka dengan beberapa pasien (biasanya 5 hingga 10) atau orang yang merawat mereka dapat menjadi cara terbaik untuk mengidentifikasi kemungkinan sumber dari suatu kejadian. Akan membantu jika Anda memulai dengan daftar pertanyaan semi terstruktur yang dirancang untuk membantu pasien mengingat kejadian dan exposure setiap hari selama masa inkubasi. Wawancara dapat diakhiri dengan kuesioner “shotgun[1]” (lihat kegiatan 6)
  • (Kotak 7.1). Komponen kunci dari teknik ini adalah bahwa satu peneliti idealnya melakukan, atau setidaknya berpartisipasi dalam, wawancara sebanyak mungkin (lima atau lebih) karena membaca catatan dari wawancara orang lain tidak dapat menggantikan apa yang diperoleh dan mendengar informasi secara langsung. Misalnya, dalam KLB Escherichia coli O157 2009, petugas investigator awalnya tidak dapat menemukan sumber KLB melalui kuesioner yang bersifat umum dan terarah. Selama wawancara terbuka dengan lima pasien, pewawancara mencatat bahwa sebagian besar melaporkan telah makan stroberi, jenis permen tertentu, dan adonan kue yang belum dimasak. Sebuah studi analitik kemudian dilakukan dengan mengikutsertakan pertanyaan mengenai exposure Hasilnya menegaskan adonan kue sebagai sumbernya (3).
  • Tanyakan kepada pasien apa yang mereka pikirkan. Pasien mungkin memiliki pemikiran yang membantu tentang sumber penyakit mereka. Namun, perlu diketahui bahwa pasien sering mengaitkan exposure makanan terbaru mereka (misalnya, makanan) dengan penyakit, sedangkan exposure pemicu mungkin sudah lama terjadi.
  • Pertimbangkan untuk menyebar kuesioner shotgun. Kuesioner semacam itu, yang biasanya menanyakan cukup banyak kemungkinan exposure, paling baik digunakan pada jumlah pasien yang terbatas sebagai bagian dari wawancara yang menghasilkan hipotesis. Setelah menghasilkan hipotesis, peneliti dapat membuat kuesioner yang ditargetkan untuk investigasi tersebut. Meskipun bukan metode yang ideal, kuesioner shotgun dapat digunakan oleh beberapa pewawancara untuk mendapatkan data mengenai sejumlah besar pasien (Kotak 7.1).
Kotak 7.1
Menghasilkan Hipotesis dalam KLB Listeriosis Terkait dengan Apel Karamel

Pada bulan November 2014, sistem surveilans AS untuk penyakit bawaan pangan (PulseNet) mendeteksi suatu klaster kasus listeriosis (suatu kemungkinan KLB) berdasarkan isolat Listeria monocytogenes serupa yang diidentifikasi melalui pulsed-field gel electrophoresis  dari isolat. Tidak ada makanan yang dicurigai yang diidentifikasi melalui wawancara pasien rutin dengan menggunakan kuesioner khusus Listeria dengan sekitar 40 sumber makanan umum listeriosis (misalnya, keju lunak dan daging deli). Epidemiologi deskriptif KLB tidak memberikan petunjuk yang jelas: distribusi jenis kelamin hampir merata, spektrum usia luas, dan tingkat fatalitas kasus yang mendekati 20% bersifat tipikal. Yang mencolok, 3 dari 35 kasus terjadi pada anak-anak usia sekolah yang sebelumnya sehat. Ini merupakan hal yang sangat tidak biasa untuk listeriosis. Sebagian besar kasus terjadi selama periode dari akhir Oktober hingga awal November.

Petugas Investigasi mulai mewawancarai kembali pasien dengan menggunakan kuesioner shotgun yang menghasilkan hipotesis yang melibatkan lebih dari 500 makanan, tetapi tidak memasukkan apel karamel. Dengan membandingkan jawaban sembilan pasien pertama dengan data dari survei konsumsi makanan yang telah dipublikasikan, stroberi dan es krim muncul sebagai hipotesis. Namun, beberapa pasien yang diwawancarai menyangkal telah makan kedua makanan tersebut selama jangka waktu satu bulan sebelum mereka sakit. Seorang peneliti kemudian melakukan wawancara panjang dan terbuka dengan pasien dan anggota keluarga mereka. Dalam satu wawancara, dia bertanya tentang makanan khusus yang dimakan selama liburan baru-baru ini, dan istri pasien menjawab bahwa suaminya telah makan apel karamel kemasan sekitar Halloween. Meskipun barang-barang produksi telah terlibat dalam KLB listeriosis di masa lalu, kemungkinan kecil apel karamel merupakan sumber penyebab. Namun, pewawancara mencatat hubungan ini karena dia sebelumnya telah mewawancarai pasien lain yang melaporkan telah makan apel karamel. Kejadian ini menegaskan pentingnya satu orang melakukan beberapa wawancara karena orang tersebut bisa menghubungkan kejadian yang mungkin terlewatkan saat meninjau catatan pewawancara lain. Faktanya, beberapa petugas investigasi lain yang mendengarkan wawancara mencatat exposure ini—di antara ratusan lainnya—tetapi tidak terlalu memikirkannya.

Dalam investigasi ini, temuan konsumsi stroberi dan es krim yang tinggi di kalangan pasien, ditambah dengan waktu KLB selama periode liburan, membantu membuat makanan manis (yaitu, apel karamel) tampak lebih masuk akal sebagai sumber yang memungkinkan.

Untuk mengeksplorasi hipotesis apel karamel, peneliti bertanya kepada lima pasien lain tentang exposure ini, dan empat melaporkan telah memakannya. Berdasarkan hasil awal ini, peneliti merancang dan memberikan kuesioner yang ditargetkan kepada pasien yang terlibat dalam KLB, serta pasien yang terinfeksi strain L. monocytogenes yang tidak terkait (yaitu, studi kasus-kasus). Penelitian ini, yang dikombinasikan dengan pengujian apel dan kemasannya, mengonfirmasi bahwa apel karamel adalah sumbernya (2). Seandainya pewawancara tunggal melakukan beberapa wawancara terbuka untuk menghasilkan hipotesis sebelum kuesioner shotgun, KLB mungkin bisa diselesaikan lebih cepat.

DESAIN STUDI UNTUK MENGUJI HIPOTESIS

Seperti yang tercantum dalam pedoman kesehatan-masyarakat dan pedoman klinis uji terkontrol secara acak (misalnya, uji coba obat, vaksin, dan intervensi tingkat masyarakat) adalah standar acuan untuk epidemiologi yang memberikan tingkat bukti tertinggi. Namun, studi semacam itu tidak mungkin dilakukan dalam situasi tertentu, termasuk dalam investigasi KLB. Sebaliknya, petugas investigasi harus mengandalkan studi observasional, yang dapat memberikan bukti yang cukup untuk melakukan tindakan kesehatan-masyarakat. Dalam studi observasional, ahli epidemiologi mendokumentasikan daripada menentukan exposure, mengukur hubungan statistik antara exposure dan penyakit. Sekali lagi, kunci utama dalam merancang studi semacam ini adalah mendapatkan kelompok pembanding yang relevan untuk pasien *Kotak 7.2).

Kotak 7.2
Mendefinisikan Exposure dan Penyakit

Karena studi analitik lapangan digunakan untuk mengukur hubungan antara exposuredan penyakit, penting untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan exposure danpenyakit. Istilah exposure digunakan secara luas, mencakup karakteristik demografis,susunan genetik atau imunologis, perilaku, exposure lingkungan, dan faktor lain yangmungkin mempengaruhi risiko seseorang terhadap penyakit. Karena informasi yang tepat dapat membantu memperkirakan efek exposure terhadap penyakit secara akurat,pengukuran exposure harus dilakukan seobjektif dan sestandar mungkin. Mengukursuatu exposure dapat dilakukan dengan mudahsecara konseptual untuk suatu exposureyang merupakan kejadian atau karakteristik yang diskret—misalnya apakah seseorangmenerima injeksi tulang belakang dengan obat steroid yang disiapkan oleh apotektertentu atau apakah seseorang menerima vaksinasi tifoid selama tahun tersebutsebelum perjalanan internasional. Meskipun exposure ini mudah dipahamisecara teoretis, namun tergantung pada interpretasi dalam praktek.

Apakah pasien yang disuntik dengan obat dari apotek yang tidak diketahui dianggap ter-expose? Apapun keputusan yang dibuat, keputusan tersebut harus didokumentasikandan diterapkan secara konsisten.

Selain itu, exposure sering kali tergantung pada ingatan. Alat bantu pengingat (misalnya,menu restoran, kartu vaksinasi, kuitansi kartu kredit, dan kartu belanja) dapatmembantu. Lebih dari sekedar jawaban biner ya atau tidak, dosis exposure bisa sangatmembantu. Sebagai contoh, dalam KLBbloodstream infection jamur terkait dengan infuscairan saline intravena yang terkontaminasi di klinik onkologi, pasien yang terjangkittelah menerima lebih banyak flushing infus dibandingkan pasien yang tidak terjangkit (4).Demikian pula, pada KLB infeksi Listeria monocytogenes, hubungan dengan daging delibaru nampakketika dilakukan evaluasi exposure konsumsi daging deli lebih dari dua kaliseminggu (5).

Membuat definisi penyakit (misalnya, apakah seseorang menderita botulisme?) mungkinterdengar sederhana, tetapi kenyataannya sering kali tidak demikian. Baca lebih lanjutcara membuat dan membuat definisi kasus penyakit pada Bab 3 .

JENIS STUDI OBSERVASSIONAL UNTUK MENGUJI HIPOTESIS

Tiga jenis studi observasional sering digunakan di lapangan. Semua jenis tersebut paling baik diimplementasikan dengan menggunakan kuesioner standar yang khusus untuk investigasi yang sedang dilaksanakan, yang dikembangkan berdasarkan wawancara untuk menghasilkan hipotesis (hypothesis generating interview).

Jenis Studi Observasi 1: Kohort

Secara konsep, studi kohort, seperti studi eksperimental, dimulai dengan meneliti sekelompok orang tanpa penyakit tetapi dengan pengalaman exposure yang berbeda. Kelompok tersebut kemudian diikuti dari waktu ke waktu untuk mengetahui apakah mereka mengalami penyakit atau kondisi kesehatan yang menjadi fokus studi. Namun, dalam studi kohort, exposure setiap orang hanya dicatat dan bukan ditetapkan secara acak oleh peneliti. Kemudian kejadian penyakit pada orang-orang dengan exposure yang berbeda dibandingkan untuk menilai apakah exposure-exposure tersebut memiliki kaitan dengan peningkatan risiko penyakit. Studi kohort bisa bersifat prospektif atau retrospektif.

Studi Kohort Prospektif

Suatu studi kohort prospektif merekrut respondensebelum mereka mengalami penyakit atau kondisi yang menjadi fokus studi. Responden-responden tersebut kemudian diikuti dari waktu ke waktu untuk melihat kejadian penyakit atau kondisinya. Kelompok yang tidak ter-expose atau dengan exposure terendah berfungsi sebagai kelompok pembanding, dan memberikan suatu estimasi jumlah awal atau jumlah penyakit yang diperkirakan. Contoh studi kohort prospektif adalah Framingham Heart Study. Dengan menilai exposure kohort awal yang mencakup lebih dari 5.000 orang dewasa tanpa penyakit kardiovaskular (CVD) dimulai pada tahun 1948, kohort diikuti dari waktu ke waktu. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengidentifikasi faktor risiko CVD yang umum (6). Setiap kasus CVD yang diidentifikasi setelah perekrutan responden dihitung sebagai satu kasus baru. Incidence kemudian dihitung sebagai jumlah kasus dibagi dengan jumlah waktu setiap orang diikuti (insidence rate) atau sebagai jumlah kasus dibagi dengan jumlah responden yang diikuti (attack rate atau risiko atau incidence proportion). Dalam epidemiologi lapangan, studi kohort prospektif juga sering melibatkan sekelompok orang yang telah diketahui ter-expose (misalnya, selamat dari serangan World Trade Center padatanggal 11 September 2001 [7]) dan kemudian diikuti untuk memeriksa risiko penyakit lanjutan dengan masa inkubasi atau latensi yang lama.

Studi Kohort Retrospektif

Suatu studi kohort retrospektif merekrut kelompok responden tertentu setelah penyakit atau kondisi yang menjadi fokus studi terjadi. Di bidang epidemiologi lapangan, studi jenis ini lebih umum dilakukan dibandingkan studi prospektif. Populasi terkena dampak sering kali didefinisikan dengan baik (misalnya, peserta perjamuan, siswa sekolah tertentu, atau pekerja di industri tertentu). Peneliti memperoleh riwayat exposure dan membandingkan kejadian penyakit pada orang-orang dengan exposure atau tingkat exposure yang berbeda.

Jenis Studi Observasi 2: Kasus–Kontrol

Dalam studi kasus-kontrol, peneliti harus mengidentifikasi kelompok pembanding dari orang-orangyang memiliki kesempatan yang sama untuk ter-expose seperti halnya kasus.

Studi kasus-kontrol biasanya dilakukan dalam epidemiologi lapangan ketika studi kohort tidak efektif untuk dilakukan (misalnya, tidak ada kohort yang ditentukan atau terlalu banyak orang yang tidak sakit dalam kelompok untuk diwawancarai). Studi kohort berjalan secara konseptual dari exposure penyakit atau kondisi, sedangkan studi kasus-kontrol secara konseptual dimulai dengan penyakit atau kondisi dan melihat ke belakang untuk mengetahui exposure. Mengecualikan kontrol berdasarkan gejala saja tidak menjamin bahwa mereka bukan merupakan penderita dengan gejala ringan dari penyakit yang sedang diselidiki. Tabel 7.1 menyajikan sejumlah perbedaan utama antara studi kasus-kontrol dan studi kohort retrospektif.

Tabel 7.1
Keuntungan dan kerugian dari tiga jenis studi observasional yang biasa digunakan dalam investigasi lapangan
Fitur Studi kohort retrospektif Studi kasus-kontrol Studi kasus-kasus
Besaran sampel Lebih besar Lebih kecil Lebih kecil
Biaya Lebih banyak (karena besarannya) Lebih sedikit Lebih sedikit
Waktu studi Pendek Pendek Pendek
Jika penyakit jarang terjadi Tidak efisien Efisien Efisien (jika kasus perbandingan sudah diidentifikasi)
Jika exposure jarang terjadi Efisien Tidak efisien Tidak efisien
Jika terdapat beberapa exposure yang relevan Sering dapat menguji Dapat menguji Dapat menguji
Jika pasien memperlihatkan beberapa outcome Dapat menguji Tidak dapat menguji Tidak dapat menguji
Riwayat alamiah Dapat memastikan Tidak dapat memastikan Tidak dapat memastikan
Risiko penyakit Bisa mengukur Tidak bisa mengukur Tidak bisa mengukur
Bias ingatan masa lalu (recall bias) Masalah potensial Masalah potensial Umumnya lebih sedikit masalah
Bias seleksi Masalah potensial Masalah potensial Masalah potensial
Jika populasi tidak terdefinisi dengan baik Sulit Menguntungkan Menguntungkan

Tipe Studi Observasi 3: Kasus–Kasus

Dalam studi kasus-kasus, sekelompok pasien dengan penyakit yang sama atau serupa berfungsi sebagai kelompok pembanding (8). Metode ini mungkin memerlukan pemeriksaan molekuler subtipe dari patogen yang dicurigai, untuk membedakan kasus terkait KLB dan kasus lain, dan sangat berguna ketika kontrol yang relevan sulit untuk diidentifikasi. Misalnya, kontrol untuk investigasi penyakit Listeria biasanya adalah pasien dengan kondisi immunocompromised (misalnya kanker atau penggunaan kortikosteroid) yang mungkin sulit diidentifikasi di populasi umum. Pasien dengan isolat Listeria dari subtipe yang berbeda dari strain KLB dapat berfungsi sebagai perbandingan untuk membantu mengurangi bias ketika membandingkan exposure makanan. Namun, pasien dengan penyakit serupa dapat memiliki exposure yang sama, yang dapat menimbulkan bias, sehingga identifikasi menjadi lebih sulit. Selain itu, pertimbangan lain harus mempengaruhi pilihan kelompok pembanding. Jika sebagian besar pasien kasus terkait KLB berasal dari satu lingkungan atau dari ras/etnis tertentu, pasien-pasien lain dengan listeriosis dari seluruh negeri tidak akan berfungsi sebagai kelompok pembanding yang memadai.

Pemilihan Kontrol dalam Studi Kasus–Kontrol

Pertimbangan untuk Memilih Kontrol

Memilih kontrol yang relevan adalah salah satu pertimbangan yang paling penting ketika merancang studi kasus-kontrol. Beberapa pertimbangan utama disajikan di sini. Namun, Anda perlu merujuk pada sumber-sumber lain untuk diskusi yang lebih mendalam (9,10). Idealnya, kontrol harus:

  • Benar-benar mencerminkan populasi sumber dari mana pasien-kasus muncul, dan
  • Memberikan estimasi yang baik tentang tingkat exposure yang diharapkan dari populasi tersebut. Terkadang, populasi sumber tidak begitu jelas dan studi kasus-kontrol yang menggunakan kontrol dari populasi umum mungkin diperlukan untuk menggambarkan exposure yang bersifat umum (misalnya, mengunjungi klinik, restoran, atau pameran tertentu). Investigasi kemudian dapat difokuskan pada exposure spesifik pada orang-orang dengan exposure umum (lihat juga bagian selanjutnya).

Kontrol harus dipilih secara independen dari setiap exposure spesifik yang sedang dievaluasi. Jika Anda memilih kontrol berdasarkan ketiadaan exposure, Anda akan menemukan hubungan antara penyakit dan exposure itu, terlepas dari apakah hubungan tersebut benar-benar ada. Selain itu, penting pula untuk memilih kontrol dari populasi sumber dengan cara yang meminimalkan confounding (lihat Bab 8), yaitu keberadaan faktor (misalnya, pendapatan tahunan) yang berkaitan dengan exposure dan penyakit, dapat mempengaruhi asosiasi yangsedang diuji.

Ketika mencoba untuk merekrut kontrol yang mencerminkan populasi sumber, cobalah untuk menghindari overmatching (yaitu, merekrut kontrol yang terlalu mirip dengankasus sehingga menghasilkan lebih sedikit perbedaan antarakasus dan kontrol daripada yang seharusnya dan menurunnya kemampuan untuk mengidentifikasi asosiasi exposure–penyakit). Saat melakukan studi kasus-kontrol di rumah sakit dan tempat layanan kesehatan lainnya, pastikan bahwa kontrol tidak memiliki penyakit lain yang terkait dengan exposure yang diteliti.

Metode Seleksi Kontrol yang Biasa Digunakan

Ketika suatu KLB tidak mempengaruhi populasi tertentu (misalnya, mereka yang menghadiri makan malam yang makannya dibawa oleh setiap orang yang hadir [potluck]) melainkan berdampak pada masyarakat secara umum, berbagai pilihan dapat digunakan untuk menentukan cara memilih kontrol dari kelompok orang dalam jumlah besar.

  • Menghubungi nomor telepon acak. Metode yang melibatkan pemilihan kontrol dengan menggunakan sistem yang secara acak memilih nomor telepon dari direktori ini telah menjadi cara utama yang diterapkan dalam investigasi KLB Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tingkat respons yang menurun karena meningkatnya penggunaan identifikasi penelepon dan telepon seluler dan kurangnya daftar direktori nomor telepon seluler yang tersedia berdasarkan wilayah geografis telah membuat metode ini semakin sulit. Bahkan ketika metode ini masih dianggap sebagai metode yang paling berguna, sering kali 50 nomor atau lebih harus dihubungi untuk mencapai satu rumah tangga atau orang yang menjawab dan memiliki kecocokan yang dapat digunakan untuk pasien kasus. Pangkalan data komersial yang menyertakan nomor telepon seluler telah berhasil digunakan untuk sedikit mengatasi masalah ini, tetapi metode ini tetap memakan waktu (11).
  • Pengambilan sampel secara acak atau sistematis dari sebuah daftar. Untuk investigasi di lingkungan yang memiliki daftar nama (misalnya, orang yang berada di suatu tempat penginapan pada tanggal tertentu), kontrol dapat dipilih dengan pengambilan sampel acak atau sistematis. Catatan pemerintah (misalnya, catatan kendaraan bermotor, peserta pemilu, atau catatan pajak) dapat menyediakan daftar kontrol yang bisa digunakan, tetapi mungkin tidak mewakili populasi yang diteliti (11). Untuk pengambilan sampel acak, tabel atau daftar nomor acak yang dihasilkan komputer dapat digunakan untuk memilih setiap orang ke-n yang akan dihubungi (misalnya, setiap orang ke-12 atau ke-13).
  • Lingkungan tempat tinggal. Merekrut kontrol dari lingkungan yang sama dengankasus (yaitu, pencocokan lingkungan tempat tinggal) umum digunakan dalam studi kasus-kontrol, terutama di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Misalnya, selama KLB demam tifoid di Tajikistan (12), petugas investigasi merekrut kontrol dengan berkeliling dari rumah ke rumah dengan menyusuri jalan, dimulai dari rumahkasus. Penelitian kolera di Haiti juga menggunakan metode serupa (13). Biasanya, rumah tangga tetangga yang langsung berada di sebelah rumah kasusdilewati untuk mencegah pencocokan berlebihan atau overmatching.
  • Teman atau kerabat pasien. Menggunakan teman dan kerabat sebagai kontrol dapat menjadi teknik yang efektif ketika karakteristikkasus (misalnya, anak-anak yang sangat kecil) membuat penemuan kontrol dengan metode acak menjadi sulit. Biasanya, petugas investigasi mewawancarai pasien atau orang tuanya, kemudian menanyakan nama dan informasi kontak untuk mengidentifikasi lebih banyak teman atau kerabat yang diperlukan sebagai kontrol. Salah satu keuntungannya adalah bahwa teman-teman dari orang yang sakit biasanya bersedia untuk berpartisipasi karena mereka tahu kerja sama mereka dapat membantu memecahkan teka-teki terkait penyakit yang dialami teman atau kerabat mereka. Namun, karena mereka bisa memiliki kebiasaan dan selera pribadi yang serupa dengan pasien, exposure mereka mungkin juga serupa. Pencocokan berlebihan semacam itu (overmatching) dapat mengurangi kemungkinan untuk menemukan sumber penyakit atau kondisi.
  • Pangkalan data orang dengan informasi exposure. Sumber data orang dengan informasi exposure mencakup data survei (misalnya, Survei Populasi FoodNet [ 14]), pangkalan data kesehatan-masyarakat dari pasien dengan penyakit lain atau dengan subtipe berbeda dari penyakit yang sama, dan penelitian sebelumnya. (Bab 4 menjelaskan sumber tambahan.)

Ketika mempertimbangkan sumber data dari luar, petugas investigasi harus menentukan apakah data tersebut menyediakan kelompok pembanding yang tepat. Misalnya, orang dalam survei mungkin berbeda darikasus dalam hal-halyang tidak mungkin ditentukan. Pasien lain mungkin sangat mirip dengankasus sehingga exposure berisiko tidak dapat diidentifikasi, atau mereka mungkin sangat berbeda sehingga exposure yang diidentifikasi sebagai risiko bukanlah risiko yang sebenarnya.

Matching dalam Studi Kasus–Kontrol

Untuk membantu mengendalikan confounding, kontrol dapat dipadankan (matched) dengankasus berdasarkan karakteristik yang telah ditentukan oleh peneliti, seperti kelompok usia, jenis kelamin, ras/etnis, dan lingkungan. Matching seperti itu tidakmengurangi confounding, tetapi akan memungkinkan efisiensi lebih besar ketika analisis yang dipadankan dilakukan untuk mengatasinya (15).

Namun, ketika memutuskan untuk melakukan matching, berhati-hatilah. Melakukan terlalu banyak karakteristik pada matching dapat membuat kontrol sulit ditemukan (membuat proses yang memang sudah sulit sejak awal menjadi lebih sulit). Bayangkan menelepon ratusan nomor telepon acak untuk mencoba menemukan seorang laki-laki dari etnis tertentu berusia 50–54 tahun yang bersedia menjawab pertanyaan Anda. Juga, ingatlah untuk tidak melakukan matching terhadap exposure yang menjadi fokus atau karakteristik lain yang ingin Anda periksa. Data pada studi matchingkasus-kontrolbiasanya memerlukan analisis yang sesuai (misalnya, regresi logistik bersyarat) (15).

Jenis Matching

Dua jenis matching utama adalah pair matching dan frequency matching.

Pair Matching

Dalam pair matching, setiap kontrol dicocokkan dengankasus tertentu. Metode ini dapat membantu secara logistik karena memungkinkan pencocokan melalui teman atau kerabat, tetangga, atau panggilan telepon. Namun, menemukan kontrol yang memenuhi kriteria tertentu dapat menjadi sulit.

Frequency Matching

Dalam frequency matching, atau nama lainnya category matching, kontrol dicocokkan dengan kasus secara proporsional sesuai dengan distribusi karakteristik yang ditemui pada kelompok kasus. Misalnya, jika 20%kasus adalah anak-anak berusia 5-18 tahun, 50% adalah orang dewasa berusia 19-49 tahun, dan 30% adalah orang dewasa berusia 50 tahun atau lebih, peneliti harus merekrut kontrol dengan proporsi yang sama. Metode ini paling baik ketika sebagian besar kasus telah diidentifikasi sebelum pemilihan kontrol dimulai. Pendekatan ini lebih efisien daripada pair matching karena seseorang diidentifikasi sebagai calon kontrol mungkin tidak memenuhi kriteria untuk dicocokkan dengan kasus tertentuyang mungkin memenuhi kriteria salah satu kelompok kasus.

Jumlah Kontrol

Studi kasus-kontrol umumnya menggunakan rasio kontrol berbanding kasus sebesar 1:1, 2:1, atau 3:1. Merekrut lebih dari satu kontrol per kasus dapat meningkatkan kekuatan studi, yang mungkin diperlukan untuk mendeteksi perbedaan yang signifikan secara statistik antara kasus dan kontrol terhadap exposure yang dialami, terutama pada KLB dengan kasus yang terbatas jumlahnya. Keuntungan tambahan yang diperoleh dengan menambahkan kontrol tiga atau empat kali lebih banyak sangat kecil karena kekuatan studi akan mulai mendatar pada jumlah tersebut. Perhatikan bahwa tidak semua kasus perlu memiliki jumlah kontrol yang sama. Penghitungan besaran sampel dapat membantu dalam memperkirakan jumlah target kontrol yang akan direkrut, meskipun besaran sampel dalam investigasi lapangan tertentu dibatasi oleh waktu dan kendala sumber daya. Melakukan estimasi kekuatan studi menggunakan berbagai skenario adalah tindakan yang tepat, karena suatu studi analitik tidak layak dilakukan jika Anda memiliki sedikit peluang untuk mendeteksi hubungan yang signifikan secara statistik. Kalkulator untuk menentukan besaran sampel untuk studi kasus-kontrol tanpa pencocokan (unmatched) tersedia di http://www.openepi.comikon eksternal dan dalam fungsi StatCalc pada Epi Info (https://www.cdc.gov/epiinfo ).

Lebih dari Satu Grup Kontrol

Kadang-kadang pilihan kelompok kontrol sangat rumit sehingga peneliti memutuskan untuk menggunakan lebih dari satu jenis kelompok kontrol (misalnya, kelompok berbasis rumah sakit dan kelompok masyarakat). Jika kedua kelompok kontrol memberikan hasil dan kesimpulan yang sama tentang faktor risiko penyakit, kredibilitas temuan studi akan meningkat. Sebaliknya, jika dua kelompok kontrol menghasilkan hasil yang bertentangan, interpretasi menjadi lebih sulit.

Contoh: Menggunakan Studi Analitik untuk Memecahkan KLB di Jamuan Makan Malam Gereja (Tapi Bukan Potluck Gereja yang telah dibahas sebelumnya)

Sejak tahun 1940-an, mahasiswa epidemiologi lapangan telah mempelajari KLB klasik penyakit gastrointestinal pada jamuan makan malam gereja di Oswego, New York (16). Namun, studi kasus yang disajikan di sini, yang digunakan untuk menggambarkan desain studi, adalah makan malam potluck yang berbeda.

Pada bulan April 2015, seorang ahli saraf yang cermat dari Lancaster, Ohio, menghubungi dinas kesehatan setempat tentang seorang pasien di unit gawat darurat dengan dugaan kasus botulisme. Dalam waktu 2 jam, empat pasien lagi datang dengan gejala yang sama, yaitu penglihatan yang kabur dan sesak napas. Petugas kesehatan segera mengenali ini sebagai KLB botulisme.

  • Pertanyaan: Apa saja kemungkinan populasi sumber (yaitu, orang yang berisiko) dari KLB ini, mengingat toksin botulinum biasanya menyebar melalui makanan tetapi dapat menjadi agen bioterorisme? Pikirkan tentang bagaimana masing-masing skenario yang mungkin sehingga sumber toksin ini dapat mempengaruhi populasi yang diteliti.
    • Jika sumbernya adalah produk komersial yang didistribusikan secara luas, maka populasi yang akan diteliti adalah orang-orang di seluruh Amerika Serikat dan mungkin di luar negeri.
    • Jika sumbernya adalah udara, maka populasi yang akan diteliti adalah penduduk satu kota atau daerah.
    • Jika sumbernya adalah makanan dari restoran, maka populasi yang akan diteliti didominasi oleh penduduk lokal dan beberapa wisatawan.
    • Jika sumbernya adalah makanan di tempat kerja atau lingkungan sosial, maka populasi yang akan diteliti adalah mereka yang makan.
    • Jika sumbernya adalah makanan di rumah, maka populasi yang akan diteliti adalah anggota rumah tangga dan setiap tamu.

Epidemiologi deskriptif dan wawancara terhadap kasus mengungkapkan bahwa semua telah makan dimakan malam potluck di gereja yang sama dan tidak memiliki exposure lain yang sama, sehingga tempat potluck menjadi tempat exposure yang mungkin dan peserta jamuan makan menjadi populasi sumber yang mungkin dalam KLB ini. Dengan demikian, studi analitik ditargetkan pada peserta jamuan makan potluck, meskipun peneliti harus tetap waspada terhadap adanya kasus diantara mereka yang tidak hadir di jamuan tersebut. Saat wawancara awal dilakukan, lebih banyak kasus botulisme yang didiagnosis sehingga jumlah kasus meningkat dengan cepat menjadi lebih dari 25. Sumber KLB perlu diidentifikasi dengan cepat untuk menghentikan exposure dan penyebaran penyakit lebih lanjut.

  • Pertanyaan: Informasi apa yang Anda perlukan untuk merancang sebuah penelitian?
    • Daftar makanan yang disajikan saat potluck.
    • Perkiraan jumlah peserta.
    • Definisi kasus.
    • Informasi dari 5-10 wawancara dengan beberapa pasien kasus atau anggota keluarga mereka yang menghasilkan hipotesis.
  • Pertanyaan: Jenis penelitian apa yang mungkin Anda lakukan jika diperkirakan 75 orang menghadiri acara jamuan makan potluck dan hampir semua tamu dapat diidentifikasi?
    • Studi kohort akan menjadi pilihan yang masuk akal karena ada kelompok tertentu (yaitu, kohort) dari orang-orang yang terpapar yang dapat diwawancarai dalam waktu yang wajar. Penelitian ini bersifat retrospektif karena outcome (yaitu, botulisme) telah terjadi, dan peneliti dapat menilai exposure secara retrospektif (yaitu, makanan yang dimakan saat jamuan makan potluck) dengan mewawancarai mereka yang hadir di jamuan makan tersebut.
    • Dalam studi kohort, peneliti dapat menghitung attack rate botulisme di antara mereka yang hadir di jamuan makan potluck yang melaporkan telah makan setiap makanan yang disajikan dan bagi mereka yang tidak. Misalnya, jika 20 dari 30 peserta yang telah makan makanan tertentu (misalnya, salad kentang) menderita botulisme, Anda akan menghitung attack rate dengan membagi 20 (sesuai dengan sel a pada Handout 7.1) dengan 30 (total terpapar, atau a+b) sehinggamenghasilkan persentase sekitar 67%. Jika 5 dari 45 peserta yang belum makan salad kentang menderita botulisme, attack rate di kalangan mereka yang tidak terpapar adalah 5/45, sesuai dengan

c/(c +d), sekitar 11%. Risk ratio adalah 6, yang dihitung dengan membagi attack rate di kalangan mereka yang terpapar (67%) dengan attack rate di kalangan mereka yang tidak terpapar (11%).

Handout 7.1
Tabel dua-kali-dua untuk menghitung Relative Risk, atau Risk Ratio dalam Studi Kohort

Tabel dua-kali-dua dibahas lebih rinci di Bab 8.

Pendekatan Studi Kohort Sakit Tidak Sakit
Ter-expose a b
Tidak ter-expose c d

Gambar

  • Pertanyaan: Jenis penelitian apa yang mungkin Anda lakukan jika lebih dari 200 orang menghadiri acara jamuan makan potluck dan peneliti tidak memiliki daftar hadir yang lengkap?
    • Studi kasus-kontrol akan menjadi pilihan yang paling layak karena seluruh kohort tidak dapat diidentifikasi dan karena jumlah peserta yang besar dapat mempersulit wawancara dengan mereka semua. Daripada mewawancarai semua orang yang tidak sakit, sebagian dapat diwawancarai sebagai subjek kontrol.
    • Metode pemilihan subjek kontrol harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Jika semua peserta tidak diwawancarai, tidak mungkin menentukan risiko botulisme diantara yang ter-expose dan tidak ter-expose karena peneliti tidak akan mengetahui exposure untuk semua peserta yang tidak sakit. Untuk itu, peneliti tidak menghitung risiko, melainkan menghitung odd dari exposure, yang bisa memperkirakan risiko. Misalnya, jika 20 (80%) dari 25 pasien kasus telah makan salad kentang, kemungkinan exposure salad kentang di antara kasus adalah 20/5 = 4 (ter-expose/ tidak ter-expose, atau a/c di Handout 7.2). Jika 10 (20%) dari 50 kontrol yang dipilih telah makan salad kentang, kemungkinan exposure di antara subjek kontrol adalah 10/40 = 0,25 (atau b/d di Handout 7.2). Membagi peluang exposure di antara pasien kasus (a/c) dengan peluang exposure di antara subjek kontrol (b/d) menghasilkan odds ratio 16 (4/0,25). Odds ratio bukanlah ukuran risiko yang sebenarnya, tetapi dapat digunakan untuk menduga apakah suatu makanan merupakan sumber penularan. Odds ratio dapat mendekati risk ratio bila outcome atau penyakit jarang terjadi (misalnya, kira-kira <5% dari populasi). Dalam kasus seperti itu, a/ b mirip dengan a/ (a + b). Odds ratio biasanya lebih tinggi dari risk ratio ketika dalam analisis>5% orang yang terpapar ditemukan memiliki penyakit.
Handout 7.2
Tabel Dua-kali-Dua untuk Menghitung Odds Ratio dalam studi Kasus-Kontrol

Risk ratio tidak dapat dihitung dari studi kasus-kontrol karena attack rate  yang sebenarnya tidak dapat dihitung.

Pendekatan Studi Kasus-Kontrol Sakit (Kasus) Tidak Sakit (Kontrol)
Terpapar a b
Tidak terpapar c d

Gambar

Dalam KLB yang sebenarnya, 29 (38%) dari 77 peserta mengalami botulisme. Para peneliti melakukan studi kohort, mewawancarai 75 dari 77 peserta tentang 52 makanan yang disajikan (17). Attack rate di antara orang-orang yang makan salad kentang secara signifikan jauh lebih tinggi daripada attack rate di antara mereka yang tidak, dengan risk ratio 14 (95% selang kepercayaan 5-42). Salah satu salad kentang yang disajikan terbuat dari kentang kalengan rumahan yang tidak dikemas denganbenar (sumber toksin botulinum yang telah diketahui), dan sampel salad kentang yang dibuang terbukti positif mengandung toksin botulinum, mendukung temuan studi analitik. (Sebagai catatan, orang sering menyalahkan salad kentang karena menyebabkan penyakit, padahal sebenarnya jarang menjadi sumber. KLB ini merupakan pengecualian.)

Dalam epidemiologi lapangan, hubungan antara exposure dan penyakit sering kali begitu kuat sehingga dapat terbukti meskipun terdapat keterbatasan penelitian seperti besaran sampel yang kecil dan kesalahan klasifikasi exposure. Dalam KLB ini, beberapa pasien dengan botulisme melaporkan tidak makan salad kentang, dan beberapa peserta tanpa botulisme melaporkan telah memakannya. Dalam studi epidemiologi, Anda jarang menemukan kesesuaian 100% antara exposure dan outcome karena berbagai alasan, termasuk ingatan yang tidak lengkap atau salah karena mengingat semua yang dimakan itu sulit. Di sini, kontaminasi silang salad kentang dengan makanan lain mungkin telah membantu menjelaskan kasus di antara pasien yang belum makan salad kentang karena hanya sejumlah kecil toksin botulinum yang diperlukan untuk menimbulkan penyakit.

KLB DENGAN EXPOSURE UNIVERSAL

Jenis penelitian apa yang akan Anda rancang jika wawancara yang menghasilkan hipotesis membuat Anda percaya bahwa setiap orang, atau hampir semua orang, ter-expose sumber infeksi yang diduga sama? Bagaimana Anda menguji hipotesis jika semua peserta barbeque , baik sakit maupun tidak sakit, telah makan ayam atau jika semua penduduk kota minum air keran kota, dan tidak ada kelompok yang tidak terpapar untuk perbandingan? Beberapa faktor yang mungkin dapat membantu adalah waktu exposure (misalnya, sejumlah barbeque yang kurang matang), tempat exposure (misalnya, bagian dari sistem air yang lebih terkontaminasi daripada yang lain), dan dosis exposure (misalnya, jumlah potongan ayam dimakan atau segelas air diminum). Memasukkan pertanyaan tentang waktu, tempat, dan frekuensi exposure yang sangat dicurigai dalam kuesioner dapat meningkatkan kemungkinan untuk mendeteksi perbedaan (18).

KESIMPULAN

Studi kohort, kasus-kontrol, dan kasus-kasus adalah jenis studi analitik yang paling sering digunakan oleh ahli epidemiologi lapangan. Jenis-jenis studi tersebut paling baik digunakan untuk mengevaluasi-yaitu mengukur dan menguji-hipotesis yang diidentifikasi pada fase awal investigasi. Studi kohort, yang diorientasikan secara konseptual dari exposuresuatu penyakit, sesuai untuk diterapkan di tempat yang seluruh populasinya terdefinisi dengan baik dan dapat direkrut (misalnya, tamu di resepsi pernikahan). Studi kohort juga dapat digunakan ketika suatu kelompok yang jelas dapat direkrut berdasarkan status exposure (misalnya, pekerja yang bekerja di bagian berbeda di pabrik manufaktur). Sebaliknya, studi kasus-kontrol berguna ketika populasi kurang jelas. Studi kasus-kontrol yang diorientasikan dari penyakit ke exposure akan mengidentifikasi orang dengan penyakit dan kelompok orang tanpa penyakit yang sebanding (kontrol). Kemudian, pengalaman exposure dari kedua kelompok tersebut dibandingkan. Studi kasus-kasus mirip dengan studi kasus-kontrol, kecuali kontrol menderita penyakit yang tidak terkait dengan KLB. Studi kasus-kontrol mungkin merupakan jenis studi yang sering kali paling cocok untuk investigasi lapangan. Meskipun secara konseptual cukup jelas dan mudah dipahami, desain studi epidemiologi yang efektif tetap mengharuskan sejumlah pengambilan keputusan secara hati-hati. Dengan meluangkan waktu untuk mengembangkan hipotesis yang baik, Anda akan dapat menghasilkan kuesioner yang berguna untuk mengidentifikasi faktor risiko. Keputusan-keputusan penting yang harus diambil untuk studi yang sukses antara lain mencakup pemilihan kelompok pembanding yang tepat, berapa banyak kontrol per kasus yang harus direkrut, apakah kasus dan kontrol harus bersifat cocok (match), dan cara terbaik menghindari potensi bias yang mungkin adalah hal yang penting untuk suksesnya suatu studi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Bab ini banyak merujuk pada tulisan Richard C. Dicker yang menulis bab yang sama pada edisi sebelumnya.

REFERENSI

  1. Gupta N, Hocevar SN, Moulton-Meissner HA, dkk. Outbreak of Serratia marcescens bloodstream infections in patients receiving parenteral nutrition prepared by a compounding pharmacy. Clin Infect Dis. 2014;59:1–8.
  2. Angelo K, Conrad A, Saupe A, dkk. Multistate outbreak of Listeria monocytogenes infections linked to whole apples used in commercially produced, prepackaged caramel apples: United States, 2014–2015. Epidemiol Infect. 2017;145:848–56.
  3. Neil KP, Biggerstaff G, MacDonald JK, dkk. A novel vehicle for transmission of Escherichia coli O157: H7 to humans: multistate outbreak of E. coli O157: H7 infections associated with consumption of ready-to-bake commercial prepackaged cookie dough—United States, 2009. Clin Infect Dis. 2012;54:511–8.
  4. Vasquez AM, Lake J, Ngai S, dkk. Notes from the field: fungal bloodstream infections associated with a compounded intravenous medication at an outpatient oncology clinic—New York City, 2016. MMWR. 2016;65:1274–5.
  5. Gottlieb SL, Newbern EC, Griffin PM, dkk. Multistate outbreak of listeriosis linked to turkey deli meat and subsequent changes in US regulatory policy. Clin Infect Dis. 2006;42:29–36.
  6. Framingham Heart Study: A Project of the National Heart, Lung, and Blood Institute and Boston University. Framingham, MA: Framingham Heart Study; 2017. https://www.framinghamheartstudy.org/external icon
  7. Jordan HT, Brackbill RM, Cone JE, dkk. Mortality among survivors of the Sept 11, 2001, World Trade Center disaster: results from the World Trade Center Health Registry cohort. Lancet. 2011;378:879–87.
  8. McCarthy N, Giesecke J. Case– case comparisons to study causation of common infectious diseases. Int J Epidemiol. 1999;28:764–8.
  9. Rothman KJ, Greenland S. Modern epidemiology. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
  10. Wacholder S, McLaughlin JK, Silverman DT, Mandel JS. Selection of controls in case–control studies. I. Principles. Am J Epidemiol. 1992;135:1019–28.
  11. Chintapalli S, Goodman M, Allen M, dkk. Assessment of a commercial searchable population directory as a means of selecting controls for case–control studies. Public Health Rep. 2009;124:378–83.
  12. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiologic case studies: typhoid in Tajikistan. http://www.cdc.gov/epicasestudies/classroom_typhoid.html
  13. Dunkle SE, Mba-Jonas A, Loharikar A, Fouche B, Peck M, Ayers T. Epidemic cholera in a crowded urban environment, Port-au-Prince, Haiti. Emerg Infect Dis. 2011;17:2143–6.
  14. Centers for Disease Control and Prevention. Foodborne Diseases Active Surveillance Network (FoodNet): population survey. http://www.cdc.gov/foodnet/surveys/population.html
  15. Pearce N. Analysis of matched case–control studies. BMJ. 2016;352:1969.
  16. Centers for Disease Control and Prevention. Case studies in applied epidemiology: Oswego: an outbreak of gastrointestinal illness following a church supper. http://www.cdc.gov/eis/casestudies.html
  17. McCarty CL, Angelo K, Beer KD, dkk. Notes from the field.: large outbreak of botulism associated with a church potluck meal—Ohio, 2015. MMWR. 2015;64:802–3.
  18. Tostmann A, Bousema JT, Oliver I. Investigation of outbreaks complicated by universal exposure. Emerg Infect Dis. 2012;18:1717–22.




Address

Gedung D Lantai 3 - Ditjen P2P Kementerian Kesehatan RI
Jl. Percetakan Negara No.29, RT.23/RW.7, Johar Baru
Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10560

08111690148
2018 © All Rights Reserved by FETP Indonesia.